Ngawen, Candi Buddha dengan Tata Letak Berbeda

Dilihat 1326 kali
Deretan candi-candi di kompleks Candi Ngawen, hanya Candi Ngawen II yang sudah dapat direkonstruksi

BERITAMAGELANG.ID - Komplek Candi Ngawen seluas kira-kira 900 meter persegi, dengan letak geografis pada koordinat  110°.16.17 BT dan 07°.36.17 LS, dengan ketinggian 290 meter dari permukaan laut, berlokasi di desa Ngawen Kecamatan Muntilan, di sebelah selatan desa Gunungpring. Letak candi ini di pinggir persawahan dan jalan desa, dekat Kantor Pemerintah Desa Ngawen.


Tahun 1864 kompleks percandian Ngawen ditemukan kembali oleh pejabat Belanda, NW Hoepermans. Ketika ditemukan percandian ini tertimbun material vulkanis gunung Merapi. Dia juga menyebutkan, ada penemuan arca Buddha di reruntuhan candi. Selanjutnya, pada 1897 J. Van Aalst mengadakan penelitian di sekitar percandian Ngawen dan ditemukan susunan batu-batu pondasi candi di depan Candi Ngawen II (candi nomor dua dari utara). Dan di Candi Ngawen IV (candi nomor empat dari utara) ditemukan arca Dhyani Buddha Amitabha. 


Ketika Th. Van Erp melakukan pemugaran Candi Borobudur tahun 1911, dia melakukan inventarisasi batu-batu candi yang ada di Candi Ngawen. Hasil inventarisasi tersebut dimuat di ROD tahun 1911, yang diterbitkan Batavia Albrecht & Co tahun 1912 dengan judul Candi Ngawen.


Situs Candi Ngawen sangat menarik perhatian para ahli purbakala Belanda. Para ahli dari Negeri Belanda terus melakukan penelitian dan penggalian. Rangkaian penelitian para ahli purbakala bangsa Belanda tersebut terus dilanjutkan. Tahun 1925, FJ. Perguin melanjutkan penelitian, penggalian dan pemugaran. Dan tahun 1927 dia berhasil memugar Candi Ngawen I dan Candi Ngawen II. 


Hasil pemugaran fisik bangunan Candi Ngawen yang sampai sekarang tidak mengalami perubahan. Dalam catatan Perguin juga disebutkan bila kerusakan kompleks percandian Ngawen ini karena letusan maha dahsyat Gunung Merapi 1.000 tahun yang lalu, di mana batu, pasir dan abunya menutupi candi ini. Ketika dia melakukan penggalian di percandian ini juga menemukan arca Dhyani Buddha Ratna Sambhawa. Tahun 1928, di Candi Ngawen II ini ditemukan piranti kuno berupa gantungan klinthingan (gentha) dengan bahan perunggu yang berada di puncak atap candi bagian dalam. Temuan piranti upacara ritual agama Buddha itu juga dicatat oleh Stutterheim tahun 1935.


Candi Ngawen berlatar belakang agama Buddha. Kompleks Candi Ngawen terdiri dari lima bangunan candi yang berderet sejajar dari utara ke selatan dengan arah hadap ke timur. Masing-masing candi berdenah bujur sangkar dengan bentuk yang sama. Dari kelima candi tersebut baru candi II yang berhasil dipugar pada tahun 1927, sedangkan empat candi lainnya hanya tersisa bangunan kaki candi. Sementara puing-puing batu-batu candi, ornamen dan relief-relief candi yang belum ditemukan pasangannya ditata di pelataran candi sisi timur.


Kekhususan Candi Ngawen ini adalah tata-letak candi berjajar berurutan dari selatan ke utara. Ini mempunyai makna, para Dhyani Buddha (dewa-dewa) posisi kedudukannya sama. Padahal, biasanya di sebuah candi Buddha, ada dewa yang kedudukannya paling tinggi yaitu Dhyani Buddha Vairocana. Keunikan lainnya, arah hadap candi-candi yang semuanya ke timur. Ini berarti, para umat Buddha yang sedang melakukan upacara ritual agama di pelataran candi Ngawen semuanya menghadap ke barat, yang juga mengandung makna menghadap ke arah Candi Borobudur, yang arah letaknya di sebelah barat candi Ngawen, sekitar 7,60 km.


Di sini ditemukan arca Dhyani Buddha Ratnasambhawa di candi II dan arca Dhyani Buddha Amitabha di candi IV. Keunikan Candi Ngawen, di candi II dan candi IV setiap sudut candi ada arca Singa berdiri seolah menyangga candi. Candi Ngawen memiliki kekhususan dalam tata letak, mandala dan gaya arsitektur bangunannya. Artinya, tata letak dan bentuk bangunannya berbeda dengan candi-candi Buddha pada umumnya. Yang banyak dijumpai, candi-candi Buddha bangunannya tunggal dengan tingkatan-tingkatan yang mempunyai makna-makna filosofi agama Buddha. Tata-letak candi ini mirip dengan tata letak candi yang bernapaskan agama Hindhu yaitu adanya candi-candi perwara dan candi induk sebagai pusatnya. Namun, di kompleks Candi Ngawen ini tidak terdapat candi induk.


Keberadaan Candi Ngawen dikaitkan dengan prasasti Kayumwungan atau Prasasti Karangtengah dengan angka tahun 746 Syaka atau 824 Masehi. Di candi ini ditemukan beberapa arca Buddha antara lain arca Dhyani Buddha Ratnasambhawa dengan sikap tangan vara mudra yang ditemukan di candi II, arca Dhyani Buddha Amitabha sikap tangan dhyani mudra di candi IV dan temuan arca Dhyani Budha Vairocana dengan sikap tangan dharma cakra mudra.


De Casparis, ahli purbakala bangsa Belanda, menghubungkan kompleks percandian Ngawen ini dengan bangunan Venuwana yang disebutkan dalam Prasasti Karang Tengah tahun 824 M. Dalam prasasti ini disebutkan, Raja Samaratungga mendirikan bangunan suci di Venuwana, yang berarti hutan bambu. Desa Ngawen ketika itu diduga sebagai salah satu desa yang banyak ditumbuhi hutan bambu.


Ahli purbakala lainnya, E.B. Vogler menetapkan pertanggalan pembangunan Candi Ngawen pada periode tahun 812-836 M. Sedangkan J. Dumary dan Nurhadi Magetsari menghubungkan Candi Ngawen ini dengan Tathagatha dalam aliran Buddha Mahayana seperti yang diterapkan pada candi-candi agama Buddha seperti Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Plaosan dan Candi Sewu.


Candi Ngawen juga mempunyai corak bangunan yang lain dengan candi-candi yang ditemukan di daerah Magelang. Jan Fontein dalam bukunya The Sculpture of Indonesia menjelaskan, bangunan Candi Ngawen ini memiliki corak (style) khusus. Di Candi Ngawen II ornamen dan hiasan candi dengan motif khas dan adanya gapura candi yang terpisah dengan badan candi. Adanya gapura candi yang terpisah itu dengan tujuan agar bangunan candi itu tampak lebih luas dan indah.


Sumantoro, teknisi pelestarian cagar budaya dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X yang bertugas di Magelang menjelaskan, di kompleks Candi Ngawen kini sudah ada pojok literasi Widya Bawana di mana disediakan buku-buku tentang kebudayaan Indonesia. Warga masyarakat, para pelajar dan mahasiswa dapat membaca untuk menimba ilmu tentang kebudayaan Indonesia di pojok literasi ini.

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar