Belajar Menghargai Pluralisme dari Keluarga dan Sekolah

Dilihat 76 kali

Dalam sebuah film yang cukup populer di masa lalu, diceritakan persahabatan antara Acong, Joko, dan Sitorus yang saling berbeda suku, sungguh mengundang rasa haru. Diperlihatkan bagaimana tiga sahabat tumbuh bersama dengan semangat tolong-menolong tanpa pamrih. Pada akhir cerita, mereka bertiga meraih kesuksesan dan terus menjalin persahabatan yang tulus.


Adakah cerita film di atas juga tercermin dalam kehidupan nyata? Menurut penulis, kesadaran adanya pluralisme tidak muncul secara tiba-tiba. Kesadaran pluralisme merupakan produk dari proses relasi psikososial kultural panjang yang akhirnya mempengaruhi khazanah mental manusia. Proses ini berlangsung sejak lahirnya seorang anak di tengah keluarganya sampai kira-kira umur 12 tahun.


Pentingnya Peran Orang Tua


Salah satu upaya menumbuhkan kesadaran apresiatif terhadap pluralisme adalah lewat peran keluarga. Yakni membina relasi antar anggota keluarga untuk saling mendengarkan, saling menghargai pendapat, serta bersedia menerima perbedaan karakter.


Segi terpenting dari budaya dalam keluarga itu bukanlah apa yang dikatakan orang tua tentang kebhinekaan dan perbedaan antar insan. Tapi apa yang dilakukan orang tua, bagaimana mereka berperilaku dan memperlakukan orang lain yang berbeda dengan dirinya. Juga bagaimana mereka mengejawantahkan sikap dan tindakan dalam interaksi sehari-hari.


Membebaskan dari Tiga Sikap Dasar


Tatkala anak-anak bertambah usia dan mulai bersekolah, peran culture leader tidak lagi semata diemban oleh orang tua atau wali. Peran itu kini juga dimainkan oleh guru serta tokoh masyarakat di lingkungan masing-masing. Maka perwujudan apresiatif terhadap pluralisme juga amat tergantung pada guru dan tokoh masyarakat dalam menghadapi realitas yang serbaneka.


Pada titik ini dapat ditandaskan, kegagalan publik untuk mengapresiasikan pluralisme adalah cerminan dari peran nyata orang tua, wali, guru, tokoh masyarakat yang masih banyak ditebari sikap dan perilaku depresiatif terhadap pluralisme.


Rambu terpenting yang seyogyanya diperhatikan adalah jangan bersikap memusuhi, memojokkan, mencerca, dan mengorbankan. Apalagi melakukan semua itu dengan peragaan tindak kekerasan pada siapapun yang berbeda pikiran, keyakinan, suku, agama, rasa, dan status sosial ekonomi.


Untuk itu perlu diwujudkan relasi psikososial kultural yang dilandasi sikap dasar "Aku oke, kamu pun oke" kendati aku dan kamu berbeda pikiran, keyakinan, suku, agama, ras dan status sosial ekonomi. Oleh karena itu, para culture leader, terutama di tengah keluarga dan sekolah, niscaya berupaya keras membebaskan diri dari tiga sikap dasar.


Pertama, sikap dasar Aku oke, namun kamu tidak oke. Sikap dasar ini melandasi pikiran dan keyakinan bahwa hidupku berharga namun hidup orang lain tidak berharga. Maka ini merupakan lahan subur untuk mengejawantahkan sikap tindak mencerca, menyalahkan, memojokkan, mengorbankan orang atau pihak lain yang berbeda dengan dirinya.


Kedua, sikap dasar Aku tak oke, kamu oke. Sikap dasar ini melandasi pikiran dan keyakinan bahwa hidupku tak berharga. Maka ia menggiring manusia menarik diri dari dunia hidup yang luas. Ia mengungkung diri hanya dalam lingkup primodialnya saja. Dalam lingkup sempit itu ia bisa direbaki fanatisme dan radikalisme yang depresiatif terhadap pluralisme.


Ketiga, sikap dasar Aku tak oke, kamu pun tak oke. Sikap dasar ini melandasi pikiran dan keyakinan bahwa hidup siapapun tak berharga. Insan yang terkurung dalam sikap dasar ini cenderung tidak menghargai siapapun. Maka ia pun akan cenderung bersikap dan bertindak depresiasi terhadap pluralisme.


Untuk mencegah merebaknya ketiga sikap dasar yang depresiasi terhadap pluralisme itu hendaknya para culture leader, terutama di tengah keluarga dan sekolah untuk mengindahkan rambu-rambu tadi.


Mereka harus (1) berupaya mengejawantahkan relasi-relasi psikososial kultural yang bersifat dialogis rasional-egaliter; (2) mendorong setiap anak dan warga memperluas pengetahuan dan wawasan, memperluas kerangka acuan pikir, dan memperbanyak sudut pandang; (3) mendorong setiap anak dan warga bergaul dan bekerja sama dengan orang lain tanpa membatasi diri pada label suku, agama, ras, dan status sosial ekonomi.


Kesadaran bahwa manusia adalah unik dan berbeda satu sama lainnya menjadi langkah awal untuk menerima perbedaan yang ada di masyarakat. Sekolah dalam hal ini bisa melakukan kegiatan bersama antar sekolah dengan perbedaan latar belakang agama, gender, sosial ekonomi atau kondisi fisik. Misalnya, bermain bola bersama murid SLB A (tunanetra) akan memberikan pengalaman komunikasi langsung dan sejajar. Sekaligus menghilangkan stereotif akan ketergantungan teman yang kebetulan tunanetra pada orang lain. Pengalaman langsung akan lebih efektif dalam menanamkan pentingnya penerimaan perbedaan dan pluralisme.


Alangkah indahnya bila contoh kecil kehidupan yang damai di dalam perbedaan itu bisa menjadi teladan semua warga yang hidup di bumi Nusantara ini. Pertikaian antar suku atau antar agam pun menjadi hal yang tabu untuk terjadi. Semoga.


Penulis: P. Budi Winarto, S.Pd., Guru SMP Pendowo Ngablak Kabupaten Magelang.

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar