Dagelan yang Mengundang Tawa

Dilihat 4953 kali
Dagelan sebagai seni pertunjukan memiliki kekuatan untuk mengungkapkan komunikasi aktual yang ada di tengah-tengah komunitas dengan bahasa verbal yang segar dan menarik. Foto: Taman Budaya Yogyakarta.go.id

Dalam pentas seni pertunjukan drama di Jawa Tengah, baik ketoprak maupun wayang orang pada pertengahan main, dipastikan akan muncul tokoh-tokoh lucu yang dinantikan penonton. Adegan interpolasi tersebut dinamakan dagelan dalam ketoprak. Sedangkan dalam wayang orang disebut goro-goro.


Kemasan seni pertunjukan selingan atau interpolasi tersebut menjadi sangat esensial, karena dapat mengubah situasi dari alur pertunjukan serius menjadi rileks, sehingga suasana menjadi cair. Penonton dibawa ke ranah imajinasi yang relevan dengan situasi terkini, sehingga komunikasi dua arah pun dapat terbangun.


Pada umumnya, adegan tersebut banyak mengundang kelucuan dengan pola tingkah pemainnya, sehingga mengundang tawa penonton. Gelak tawa penonton melihat penampilan pemain menjadikan pertunjukan hidup, semarak, dan tidak terkesan kaku. Lebih meriah lagi ketika penonton merespon dengan meminta beberapa lagu kepada pemain, sehingga relasi timbal balik tercipta secara harmonis.

 

Tradisi Teater


Dalam seni pertunjukan teater tradisi di Indonesia, pada umumnya naskah ceritanya banyak mengambil dari naskah-naskah lama, baik itu sejarah, epos, atau legenda. Dalam naskah-naskah cerita lama tersebut, tokoh-tokoh aristokrat atau bangsawan biasanya diiringi oleh para pembantunya. Para pembantu atau abdi tersebut, nantinya yang berperan mengomunikasikan peristiwa-perisitiwa aktual kepada penonton dengan teknik permainan lawakannya.


Untuk melawak yang membuat penonton tertawa itu memang tidak mudah. Membutuhkan teknik tersendiri. Baik dari aktingnya di panggung, tutur kata, spontanitas bicara, serta kemampuan berkomunikasi yang handal. Mereka harus memiliki kapabilitas berbicara yang tidak menggurui, komunikatif, tidak vulgar, dan menangkap perisitiwa aktual yang akan dikomunikasikan.


Salah satu jenis seni pertunjukan lawakan yang paling popular di Jawa Tengah antara lain adalah pertunjukan Dagelan Mataram (DM). Bentuk DM ini bermula dari tradisi keraton Yogyakarta, yakni Gusti Pangeran Hangabehi (putra Sri Sultan Hamengkubuwana VIII tahun 1880-1939) yang  mempunyai abdi dalem yang  bertugas menghibur keluarga keraton.


DM adalah salah satu genre sastra yang berbentuk drama komedi yang mengandung cerita, penokohan, alur, dialog, dan dipentaskan di panggung.


Dagelan/lelucon atau lawakan seringkali disampaikan secara spontan. Namun demikian, spontanitas tersebut tetap berada dalam kerangka acuan struktur lakon yang harus dipatuhi oleh tokoh-tokohnya. Lakon adalah istilah lain dari drama dan berasal dari bahasa Jawa yang berarti lampahan (cerita). Bagi seorang sastrawan, lakon (drama), merupakan jenis sastra di samping jenis puisi dan prosa.


Spesifikasi DM yang terstruktur dalam sebuah lakon mempengaruhi perkembangan seni lawak dan teater di Indonesia. Namun demikian, teater-teater tradisional umumnya tidak memiliki naskah lakon. Adapun sebagian besar lakon-lakon dalam DM berwujud skenario utama atau lakon balungan yang berisikan inti pokok yang harus dibawakan oleh tokoh-tokohnya. Lakon balungan ini jarang sekali ditulis dan jika ada hanya beberapa saja. Para pemain hanya diberi garis besar jalannya cerita dan tugas yang harus dikerjakan di pentas panggung. Merekalah yang mengembangkannya secara improvisasi atau spontan. Jadi, dagelan tersebut tidak dibuat secara sembarangan. Seorang pelawak harus mampu memberi dan menerima umpan banyolan, mengikuti alur, serta memperhatikan lakon.


Salah satu sosok DM yang legendaris adalah Basiyo (populer pada tahun 1950-1980-an). Ia terkenal dengan piawainya melawak dalam setiap cerita atau kisah yang dibawakannya. Di samping itu, kemampuan untuk melempar suatu jokes dalam bahasa Jawa juga merupakan ciri khasnya. Semasa hidup, kemampuannya dalam menghibur semakin baik, penonton kemudian mengundangnya tidak hanya sebagai pemain ketoprak, namun juga sebagai pelawak. Selain itu, Basiyo dikenal juga sebagai seorang tokoh yang mempopulerkan acara Pangkur Jengglng siaran RRI Stasiun Yogyakarta sejak 1954-1979, setiap hari Senin pukul 21.30-23.00, dan disiarkan lewat program Uyon-uyon Manasuka langsung dari Dalem Ngabeyan, Yogyakarta (Prabowo, 2007).


Penyajian DM juga menggunakan iringan musik yang berfungsi sebagai pengiring (ilustrasi) dan selingan antar adegan. Sebagai musik selingan, maka dagelan ini menggunakan iringan musik yang berdurasi pendek agar tidak mendominasi penyajian cerita. Musik selingan ini berupa gending-gending Jawa yang berbentuk lancaran dan srepegan. Bentuk gending ini lebih sederhana dibandingkan bentuk gending-gending yang lain sehingga dapat disesuaikan dengan kebutuhan adegan.


Isi cerita dalam DM merupakan kisah kehidupan sehari-hari yang diwujudkan dalam sebuah lakon komedi dan mengandung makna. Muatan ini muncul atas dasar konsep individu sebagai bagian dari masyarakat yang tidak dapat terhindar dari berbagai kondisi sosial dalam karya maupun pemikirannya. Hal demikianlah yang mempengaruhi karya dan pemikiran manusia tersebut tidak terlepas dari nuansa tradisi dan budaya daerah tertentu dimana individu tersebut pernah mengalami suatu komunikasi bermakna dalam kehidupannya.

 

Nilai Kehidupan


Dilihat dari latar belakang historisnya sampai saat ini ternyata dagelan dapat dipakai sebagai pemantik nilai kehiduapn manusia. Walau dikemas dalam kerangka seni pertunjukan, ternyata makna di dalamnya merupakan semiotika ajaran kehidupan yang sangat mandalam. Banyak contoh-contoh yang bisa ditangkap dalam ranah pertunjukannya, seperti kita harus patuh protokol kesehatan, taat akan aturan lalu lintas, taat pajak, yang disesuaikan dengan situasi yang aktual saat itu.


Melihat begitu mendalamnya makna filosofis yang terkandung di dalamnya kiranya, langkah-langkah revitalisasi untuk tetap menjaga eksistensinya perlu terus dilakukan, seperti mengadakan festival dagelan mulai tingkat sekolah sampai sanggar-sanggar seni. Dari festival tersebut akan diketahui peta potensi dan antusiasme komunitas sebagai pedoman pihak-pihak terkait melakukan pendampingan.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)


Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar