Perhelatan akbar Festival Lima Gunung (FLG) tahun ini yang sudah menapaki perjalanan waktu 22 tahun, telah menjadi branding agenda kebudayaan di Kabupaten Magelang. Festival yang berlangsung selama tiga hari (25/8 s.d. 27/8-2023) tersebut diselenggarakan Dusun Sudimoro, Desa Baleagung, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang.
Tiga hari berturut-turut dalam festival tersebut berlangsung pementasan berbagai jenis kesenian, seperti tari tradisional, kreasi baru, modern, dan kontemporer. Tidak ketinggalan berbagai cabang seni lainnya seperti puisi, teater, kirab budaya, pemeran seni rupa, dan pidato kebudayaan ikut memeriahkan festival akbar rutin tahunan tersebut.
Adapun tema yang diangkat tahun ini adalah "kalis ing kahanan". Makna semiotika yang dapat ditangkap dalam tema tersebut tak lain adalah suatu pengharapan agar masyarakat, bangsa, dan negara dapat terhindar dari berbagai kesulitan dan marabahaya, serta mampu melewati berbagai tantangan dan krisis kekinian yang sudah dirasakan sangat menyulitkan sendi-sendi kehidupan.
Kemasan Festival
Dalam kegiatan FLG yang sudah berlangsung lebih dari dua dasawarsa tersebut menjadi menarik karena dikemas dalam suatu event festival. Pada dasarnya festival merupakan bentuk peristiwa kultural yang beragam. Pada umumnya diimplementasikan dalam bentuk pesta atau upacara secara periodik dari suatu komunitas yang berkorelasi dengan ritus lingkungan, mata pencaharian, musim, kegembiraan, keagamaan, dan lain-lain.
Pada prinsipnya festival dapat di diferensiasi menjadi dua bagian, yaitu festival yang berkorelasi dengan upacara ritual keagamaan, dan festival yang berkorelasi dengan luapan ekspresi gembira atau euforia. Festival untuk bidang keagamaan pada umumnya lebih dahulu daripada untuk kegembiraan. Fenomena dalam sebuah festival tentu masing-masing mempunyai keunikan. Keunikan sebuah festival menjadi magnet bagi para partisipan, penonton, dan pihak-pihak lain untuk memperoleh profit baik finansial maupun non finansial. Dengan diselenggaraan festival, tentunya akan memberikan dampak ikutan bagi berbagai sektor, baik pariwisata, taraf hidup komunitas sekitar, juga UMKM yang sekarang digalakkan pemerintah (Joko Aswoyo, 2013).
Apabila ditelisik lebih jauh, budaya gunung menjadi suatu peradaban kultural yang memiliki makna mendalam. Komunitas pedesaan dari gunung, memiliki potensi seni yang luar biasa. Gunung merupakan sumber kehidupan sejati dengan segala potensi seni yang dimiliki. Gunung memang menjadi sumber energi abadi yang tak habis digali untuk memantik proses kreatif berkesenian.
Energi hidup yang melahirkan energi estetika dengan terciptanya panorama sampai energi kreativitas penghuni rasa yang melahirkan begitu banyak jenis seni dengan keunggulannya masing-masing. Bahkan gunung dapat dikatakan menjadi sumber energi hati nurani manusia yang tidak serba materi. Dengan merawat gunung berarti merawat peradaban manusia.
Kata gunung menjadi opsi dalam perhelatan tahunan FLG yang sudah berlangsung 22 tahun ini, bukannya tanpa alasan. Apabila dikaji secara mendalam terdapat korelasi erat antara gunung dan manusia. Keduanya sejatinya tidak dapat dipisahkan, karena merupakan semiotika kehidupan. Dalam gunung melambangkan seluruh isi alam raya termasuk di dalamnya manusia.
Gunung bisa juga dikonotasikan sebagai jiwa atau suksme yang sering disebut dengan pancer. Formatnya segitiga mengandung makna, bahwa unsur cipta, rasa, dan karsa yang ada pada diri manusia, masing-masing saling berkelindan menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Bahkan dalam wayang gunungan merupakan simbol kehidupan manusia yang sarat akan nilai filosofis. Bentuk gunungan yang meruncing menjulang ke tinggi atas melambangkan bahwa hidup manusia ini tujuan akhirnya akan menuju ke atas secara vertikal yaitu berserah kepada Tuhan sebagai wujud berserah hidup.
Adapun visualisasi gambar dalam gunungan mempunyai makna semiotika yang melambangkan dinamika kehidupan manusia. Di antaranya adalah gambar pohon yang melambangkan sumber hidup manusia. Dengan adanya pohon manusia dapat terlindungi dari sengatan matahari atau cobaan hidup.
Dari gunung, tiga ranah selalu tampil serasi mulai tanah dengan gunungnya, kehidupan manusia, dan tradisinya. Ketiganya menjadi satu kesatuan untuk bisa saling memberi dan menerima dengan tradisi gotong royong, kebersamaan, dan saling peduli, walaupun dinamika kehidupan global sudah melanda dan merasuk ke sendi-sendi kehidupan manusia.
Solidaritas Komunal
FLG yang sampai saat ini sudah menapaki usia 22 tahun dapat menjadi parameter bahwa festival tersebut bukan berusia muda. Dinamika perjalanannya tentunya sangat beragam. Namun setidaknya festival tersebut dapat memberikan kontribusi nyata kepada publik, bahwa agenda budaya yang diselenggarakan oleh komunitas gunung yang kesehariannya hidup dari sektor agraris, sampai saat ini masih eksis.
Festival yang penyelenggaraannya ditopang mandiri oleh komunitas lima gunung, yaitu Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh telah menorehkan agenda budaya baik dalam skala lokal maupun internasional. Suatu fakta yang tak terbantahkan, dengan semangat gotong royong dan kekuatan solidaritas komunal agenda tahunan yang sudah berlangsung lebih dari dua dasawarsa tersebut tetap bisa berjalan.
Dalam agenda tahunan tersebut, berbagai atraksi seni dari komunitas lima gunung tersebut ditampilkan. Semua boleh menunjukkan ekspresinya di ajang festival rakyat tersebut. Mulai dari seni tradisi sampai kontemporer, tanpa sekat dan batasan yang mengekang ruang ekspresi para seniman dipersilahkan untuk tampil mengisi agenda festival tersebut.
Di samping itu, festival dapat menjadi perekat ikatan persaudaraan antar seniman. Dengan kekuatan tali persaudaraan tersebut, kontak emosional dapat terbangun yang semakin mengokohkan bangunan kebersamaan. Maka tak mengherankan, festival tersebut dapat terselenggara rutin dengan biaya operasional ditanggung bersama.
Kegiatan Budaya FLG, juga diikuti oleh peserta didik dari berbagai sekolah dengan kreasinya masing-masing. Hal itu menandakan, FLG bukan hanya ajang berekspresi para seniman, namun juga memberi ruang bagi peserta didik di masing-masing sekolah untuk terlibat dan menunjukkan epkspresinya.
FLG yang dibangun dengan semangat kebersamaan tersebut, layak diapresiasi. Bahwa potensi kultural tidak harus muncul dari kota-kota besar, namun juga dapat tumbuh dari lereng gunung secara alami. Niat tulus dan komitmen bersama, akan dapat menghasilkan suatu agenda spektakuler. Agenda budaya tersebut, harmoni dengan UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, yang menegaskan bahwa partisipasi dan pencerahan dari komunitas sangat dibutuhkan untuk pemajuan kebudayaan di Indonesia.
(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)
0 Komentar