Hegemoni dalam Industri Seni

Dilihat 285 kali
Dalam konteks industri seni, berbagai cabang seni baik itu seni pertunjukan, seni rupa, atau media rekam perlu lebih mengoptimalkan media digital agar lebih dikenal publik dalam jangkauan yang lebih luas.

Bila ditelisik lebih jauh, implikasi hegemoni dalam terminologi bahasa acapkali berkenaan dengan pembentukan dominasi dari kelompok tertentu dalam mengasumsikan  kepentingannya sebagai kepentingan kelompok yang lebih besar. Pendekatan ini memang sangat bertendensi politis dikarenakan faktor identitas kelompok tertentu seringkali berimplikasi multiinterest. Fenomena itu bisa ditengarai siapa yang mempunyai power besar berusaha akan melibas kelompok kecil untuk melanggengkan interest kelompoknya.


Sebagai sebuah terminologi yang semula berkorelasi dengan ide-ide yang tumbuh dan berkembang di lingkungan imperialisme dan kolonialisme, pada gilirannya makna dan isinya pun mengalami elaborasi sejajar dengan evolusi pemikiran manusia. Salah satu tokoh yang kemudian mempopulerkan istilah ini adalah Antonio Gramsci, salah seorang pemikir dari Italia.


Bagi seorang Gramsci, kiat memperluas keinginan kelompok tertentu sebagai dasar untuk membentuk kelompok yang lebih adalah syarat mutlak. Dari perolehannnya terhadap dominasi kepentingan tertentu itulah pada gilirannya akan didapatkan sebuah kebiasaan-kebiasaan umum dan sekaligus kebijakan-kebijakan umum yang dapat memberi kontribusi positif.


Sejumlah fenomena tersebut dapat ditelisik kembali. Dalam elaborasi peradaban komunitas modern, kehadiran suatu dominasi  pemikiran politik dapat diasumsikan sebagai trend, dan itu telah diterima sebagai suatu realita politik. Demikian juga ketika suatu dominasi  pemikiran ekonomi atau pun seni telah diasumsikan sebagai hal yang sama. Fenomena tersebut tentunya akan bersinggungan dengan regulasi maupun kebiasaan umum. Begitulah secara natural dihembuskannya sebuah hegemoni akan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan di komunitas dengan segala dinamikanya (RM Pramutomo, 2004).


Kebudayaan Industri


Pemikiran yang telah dikembangkan oleh Gramsci sedikit banyak telah merasuk ke dalam bidang kebudayaan kita. Perkembangan makna dan isi yang didasarkan pada pemikiran Gramsci, telah menjadi studi politik kesenian di era globalisasi ini. Ciri dari kesenian kita yang bisa diamati secara visual di era global ini yakni sifat produknya yang lahir dari anak kebudayaan industri. 


Ciri yang sama dapat dilihat pada kemungkinan yang sangat besar menjadi sebuah tipe  spesifik seni industri yang dibesarkan oleh era industri media. Dari asumsi tersebut, tampak pada kekuatan kultur tertentu yang mendasarkan hegemoni sebagai bagian dari arus pembentukan opini publik. Formulasinya menjadi sangat kental di dalam perluasan sosial ruang-ruang sosial ekonomi pasar.


Hal ini dikarenakan terjadinya karakter transaksi yang dibangun melalui nilai ekonomi dalam pembentukan opini publik. Pada kasus seni di era ekonomi pasar dan hegemoni patron industri, pandangan yang sama dapat diimplementasikan dari karakter stilistik seni dan selera pasar sebagai akibat perumitan substansial dalam tradisi media.


Kehadiran patron industri merupakan rangkaian panjang dari proses evolusi pemikiran  komunitas dalam sejarah intelektual kita. Fenomena patron atau perlindungan industri di masa kini sebenarnya bukan sesuatu yang baru sama sekali. Dalam historis sosial masyarakat Eropa kuno, hadirnya kelompok borjuis telah disebut-sebut sebagai embrio kelahiran patron industri di masa lampau.


Sementara di kalangan kerajaaan tetap memperkuat dirinya sebagai patron seremonial. Di sisi lain, timbul gerakan baru era pasca Revolusi Industri di Inggris. Akhir abad ke-18 posisi kultural patronase telah menjalar ke dalam bentuknya yang sangat kompleks. Hal ini juga sejalan dengan pemekaran ide imperialisme dan kolonialisme yang memberi isi dan karakter politik di kawasan kerajaan wilayah Eropa.


Patron Seni 


Di Indonesia, masa peralihan di zaman republik telah menyertai bentuk pewarisan patron (pelindung) seni dalam atribut industri. Mencermati hal ini paling tidak ada dua jenis patron yang kemudian sebagai institusi kultural di Indonesia, yakni patron industri dan patron proyek. Jagat patron industri mengalami era keemasan di saat pariwisata menjadi kendaraan bagi seni kemasan yang bernafas komoditas. Seni dapat menjadi barang komoditas untuk menjadi salah satu bagian dari wisata budaya dengan target kepuasan wisatawan di daerah destinasi wisata.


Sementara itu patron proyek tampak dalam bentuk-bentuk pembinaan atau pendampingan yang difasilitasi oleh pemerintah. Dalam perspektif kesenian kita, pergulatan dua jenis patron di atas seakan menjadi perseturuan hegemoni seperti dalam pernyataan Gramsci. Satu alasan utamanya adalah soal kriteria estetis yang terbentuk dalam pertarungan hegemoni. Dikarenakan akibat logis pertarungan hegemoni, maka unsur-unsur pemaksaan pada  selera tertentu mencuat sebagai isu sentral di akhir tahun 1990-an, melalui wadah festival, pasar seni, pekan seni budaya, temu karya, gelar karya, atau ratusan jenis kegiatan yang sama di berbagai belahan Nusantara.


Keadaan ini semakin kompleks ketika indutri media telah menjelma sebagai tradisi baru dalam rasa kesenian kita. Dengan demikian secara tidak langsung indutri media telah menempati patron industri baru. Industri media yang sudah banyak merambah wilayah kesenian dapat menjadi sarana agar kesenian tersebut lebih dikenal publik. Terlebih lagi di era digital ini, aspek media dapat menjadi media kelompok kesenian atau para seniman untul lebih melejitkan proses kreatifnya.


Sudah saatnya aspek kesenian, baik itu seni pertunjukian, seni rupa, seni media rekam, atau seni sastra untuk lebih mengoptimalkan media digital dalam mendiseminasikan karya-karyanya. Dengan harapan kesenian tersebut dapat lebih bermanfaat bagi masyarakat, bukannya hanya prinsip idealis seni untuk seni, namun lebih dari itu, tentunya perlu lebih menegaskan bahwa seni untuk publik dan kemaslahatan bersama.

 

(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar