Implementasi Dewaraja dalam Bingkai Seni

Dilihat 1273 kali
Tari Klana Raja yang memvisualisasikan karakter raja yang sedang jatuh cinta merupakan seni tari istana yang memiliki pedoman dan standar baku dalam masing-masing detail gerak maupun karakterisasinya.

Sebagaimana diketahui bahwa kekuasaan raja-raja terutama di Asia Tenggara lebih diwarnai oleh konsepsi kerajaan klasik yang bernafaskan Hinduisme. Konsepsi tersebut lebih menekankan pada konsepsi Dewaraja yang dapat dimaknai sebagai konsepsi kenegaraan yang menempatkan raja sebagai penjelmaan para dewa atau yang memiliki sifat-sifat seperti dewa.


Banyak pakar sejarah yang sudah mengulas peran raja dalam konsepsi kerajaaan klasik tersebut. Nidhi Aeusrivongse dalam tulisannya yang bertajuk Devaraja Cult and Khmer Kingship at Angkor (1976) menjelaskan tentang kedudukan raja-raja Kamboja yang menempatkan diri sebagai raja inkarnasi dewa. Hal itu juga diterapkan di Thailand. Sampai sekarang nama abhiseka (gelar resmi) raja Thailand adalah Rama. Sedangkan dalam ajaran Hinduisme, Rama adalah  kesatria Ayodha yang dianggap sebagai titisan Dewa Wisnu.


Konsep dan kekuasaan raja-raja klasik di Jawa juga telah dibicarakan secara menarik oleh beberapa sarjana Indonesia. Di antaranya adalah Soemarsaid Moertono dengan tulisannya State and statecraft in Old Java (1963) dan G. Mudjanto dengan karyanya yang berjudul The Concept of Power in Javanese Culture (1986). Dengan jelas Soemarsaid Moertono memaparkan bahwa konsep Dewaraja atau ratu binathara (raja yang didewakan) terekam pula dalam kisah pewayangan.


Sedangan G. Moejanto lebih mengamati bahwa konsep kekuasaan para raja-raja zaman feodal mengedepankan aspek budaya yang menopang serta memperkuat kekuasaan raja, terutama yang berbentuk bahasa. Sebagai contoh di Jawa bahasa komunikasi dengan menggunakan bahasa Jawa sejak zaman Mataram mengenal stratifikasi yang cukup banyak dengan maksud untuk mengatur relasi sosial antar beberapa kelompok di masyarakat, termasuk dengan penguasa atau petinggi kerajaan (Soedarsono, 2001).

 

Konsep Estetika Seni


Tidak dapat dipungkiri berbagai produk seni istana baik seni pertunjukan atau seni rupa secara langsung atau tidak mendapat pengaruh dari hadirnya seorang raja yang menggunakan konsepsi kekuasaan Dewaraja. Dalam korelasinya dengan konsep estetika seni nampak sekali predikat-predikat yang diterapkan pada seni istana, seperti Kagungan Dalem (Milik Raja), Yasan Dalem (Ciptaan Raja), dan sebagainya.


Terminologi Kagungan Dalem dipergunakan bagi seni pertunjukan istana, yang secara harfiah berarti milik raja. Hal ini implikasinya secara formal segala bentuk seni istana adalah milik raja. Di istana Yogyakarta sering mendapat sebutan Kagungan Dalem, seperti Kagungan Dalem Serat Kandha Ringgit Tiyang Lampahan Mintaraga (Milik Raja Buku Cerita Pertunjukan Wayang Orang Cerita Mintaraga).


Bila sebuah bentuk seni pertunjukan dicipta pada masa pemerintahan seorang raja tertentu, maka ciptaan itu juga disebutkan sebagai Yasan Dalem. Adapun contohnya antara lain, Beksa Golek Menak Yasan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono IX (Tari Golek Menak Ciptaan Raja Sultan Hamengku Buwono IX).


Sedangkan di Surakarta terutama di Kadipaten Mangkunegaran pada masa pemerintahan Mangkunegara IV telah menciptakan seni Langendriyan, yaitu seni tari yang menggunakan media tembang sebagai komunikasi kepada pentonton. Tari ini mengambil latar belakang cerita Kerajaan Majapahit dengan tokoh-tokoh sentral seperti Damarwulan, Kencana Wungu, Menakjingga, dan sebagainya.


Dengan adanya seni pertunjukan istana yang diciptakan di istana, kemudian menjadi milik raja, sudah barang tentu nilai estetikanya selalu dianggap baik dan tingkat kualitasnya tinggi. Hal tersebut bisa dikatakan wajar, sebab sesuatu yang dilakukan oleh raja baik pola pikir, pola tindak, maupun kebijakan yang dilakukan sebagai penguasa jagat yang didewakan, sudah tentu akan menghasilkan karya yang dianggap indah dan tinggi. Maka tak mengherankan apabila seni yang dilahirkan di istana, secara estetis selalu dianggap adiluhung yang memiliki makna indah dan tinggi nilai artistiknya.  


Tata Krama Istana


Estetika istana tidak bisa lepas dari panutan tata krama yang menyertai seni pertunjukan istana tersebut. Sebagai contoh dalam seni tari istana ada beberapa gerak yang mencerminkan tata krama sebagai manifestasi bahwa dalam format seni tari terdapat simpul-simpul etika yang harus dilakukan oleh masing-masing penari. Di Keraton Yogyakarta dari dahulu sampai sekarang pertunjukan seni tari harus diawali dan diakhiri dengan arah hadap pada tempat raja menyaksikan.


Selain dalam seni tari, panutan tata krama tersebut juga terdapat dalam drama istana, seperti dalam wayang orang atau wayang kulit. Untuk kesatria protagonis atau berkarakter baik tidak pernah divisualisasikan dengan gerak dan dialog kasar. Sebaliknya untuk karakter antagonis atau jahat sering diungkapkan dengan gaya bahasa yang kasar, baik dalam penampilan gerak maupun penggunaan bahasa sebagai dialognya.


Sebagai misal, tokoh Gatotkaca, geraknya memang gagah, akan tetapi apabila marah, ia tak bakal menggunakan kata-kata kasar, karena tokoh ini adalah kesatria yang baik. Lain halnya dengan tokoh raja raksasa Niwatakawaca. Meskipun tokoh ini adalah seorang raja, bila sedang bicara, walaupun tidak marah, sering menggunakan kata-kata vulgar, yang tidak bakal diucapkan oleh tokoh-tokoh protagonis.


Dengan demikian konsepsi Dewaraja yang ada di istana tersebut dapat berimbas ke berbagai cabang seni di istana. Tentunya seni yang ada istana akan dapat menjadi panutan seni-seni yang ada di kalangan rakyat. Keraton sebagai pusat kebudayaan, dapat menjadi parameter bahwa berbagai seni tersebut memiliki nilai artistik dan filosofis tinggi.


Adapun yang dapat menjadi refleksi bersama tak lain adalah berbagai cabang seni yang ada di istana dilindungi oleh raja. Sebagai konsekuensinya perlindungan tersebut tidak hanya simbolis, namun juga termasuk dukungan finansial agar berbagai cabang seni tersebut dapat berkembang dan para senimannya terus melakukan langkah-langkah inovasi karya sesuai dengan standar maupun pranata yang berlaku.

 

(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar