Menarik sekali tulisan Radhar Panca Dahana dalam Kompas beberapa tahun lalu (21/1/2020) bertajuk "Sakratul Maut Seni Budaya". Dalam ulasannya menegaskan hingga saat ini, kesadaran hingga tindakan baik dalam bentuk kebijakan tentang kebudayaan di kalangan pejabat negara dari pusat sampai daerah termasuk elite politik, bisnis, ekonomi, dan lainnya masih rendah. Kebudayaan terutama seni sebagai bagian vital di dalamnya, masih dipandang dan diposisikan sebagai objek saja.
Keprihatinan Radhar Panca Dahana tersebut, juga dialami para guru seni budaya di jenjang pendidikan menengah. Pada saat ini, mata pelajaran seni budaya mulai tereduksi porsi jumlah jam pelajarannya di jenjang pendidikan menengah. Menurut Struktur Kurikulum 2013 hasil penyempurnaan, mata pelajaran seni budaya masuk dalam muatan kelompok kewilayahan berlaku hanya diberikan di kelas X. Kurikulum sebelumnya materi diberikan sampai jenjang kelas XII.
Pengurangan porsi jam pelajaran tersebut, termasuk dalam Kurikulum Merdeka pemerintah beralasan, ranah mapel seni budaya hanya untuk mengembangkan kemampuan apresiasi bukan untuk penguasaan aspek seni budaya. Dari pengalaman praksis, tentunya pengurangan jam pelajaran tersebut berdampak dalam pemetaan dan kedalaman materi.
Dalam mata pelajaran seni budaya ada empat aspek cabang seni yang harus dipelajari, yaitu seni tari, seni rupa, seni musik, dan seni teater. Materi sebanyak itu, menurut Kurikulum Merdeka yang diberlakukan saat ini, capaian pembelajaran yang memuat satu sampai lima elemen baik tingkat pengetahuan dan keterampilan yang harus diberikan peserta didik. Tentunya banyak guru mengalami kesulitan dalam memberikan materi sampai kedalamannya. Bila selesai pun tentunya hanya sekilas. Sedangkan kedalaman maeri tidak dapat diberikan dengan optimal.
Komplain peserta didik
Maka tak mengherankan banyak peserta didik yang komplain, ketika kelas X atau fase E materi diberikan, di kelas lanjut materi tersebut sudah tidak dijumpai lagi alias stagnan di kelas X. Padahal materi tersebut harusnya berkelanjutan untuk bisa mengetahui kedalamannya. Untuk kurikulum sebelumnya, terdapat kelonggaran untuk mengatur seluruh aspek materi. Untuk kelas X bisa menyelesaiakan aspek materi seni tari dan teater. Kelas XI aspek materi seni rupa dan musik. Sedangkan kelas XII refleksi materi semua aspek materi, dan persiapan untuk ujian praktik sebagai media ekspresi selama belajar seni budaya di satuan pendidikan.
Komplain dari peserta didik terkait dengan materi yang hanya diberikan di kelas X itu tentunya beralasan. Karena pada dasarnya mata pelajaran seni budaya dapat mengartikulasikan dan menyebarkan informasi dan nilai-nilai inovatif. Selain itu mata pelajaran ini juga dapat memberikan jalur alternatif untuk bisa menjadi lebih humanis. Dengan demikian, mata pelajaran seni budaya dapat menyediakan pilihan dan kepekaan akan potensi yang dimiliki masing-masing pribadi.
Dalam suatu kesempatan pernah penulis mengajar praktik seni tari dalam mata pelajaran seni budaya di depan kelas. Banyak para peserta didik berkomentar bahwa mata pelajaran ini sangat menarik. Mereka membutuhkan selingan apresiasi untuk merangsang ranah imajinasinya di sela-sela mata pelajaran lain yang selalu memeras otak.
Mereka bisa menari dengan total dalam kerangka normatif selaras dengan tari yang dibawakan. Para peserta didik putri ketika praktik berbagai tari yang ada di Nusantara, seperti tari Margapati, tari Golek Campursari, atau tari Gambyong, gerak gemulai dan koordinasi seluruh tubuh dapat mereka kuasai. Sebaliknya peserta didik putra ketika menari tari Prawirawatang dapat mevisualisasikan gerak heroik dan tegas selaras dengan karakter maupun irama tari yang mengiringi.
Manakala mereka belajar seni teater, berbagai karakterisasi tokoh dapat mereka tampilkan, baik tokoh antagonis maupun protagonis. Mereka dapat menjalani proses pembelajaran dengan total, karena materi diambil dari sejarah lokal, seperti Legenda Borobudur, Diponegoro, Menoreh, dan berbagai legenda daerah lainnya. Dengan demikian materi tidak asing dengan lokasi di tempat mereka tinggal.
Setelah mata pelajaran praktik, penulis mengajak mereka sharing bersama terkait dengan tari atau tokoh karakter yang dibawakan. Penulis bawa imajinasi mereka untuk mengorelasikan tari dengan kehidupan budaya komunitas di lingkungannya. Ternyata mereka dapat cepat menangkap dan menyenangi materi dikarenakan dapat menarik tautan benang merah dengan lingkungannya.
Melalui pendidikan yang memunculkan potensi imajinasi, seperti seni budaya, kaum millennial bisa belajar dan bertumbuh menjadi sosok-sosok yang berkarakter untuk selalu terhubung (connected), berbela rasa (compassionate), dan berkesanggupan (commited). Pembelajaran seni budaya tersebut dapat dilakukan melalui mengamati, memahami, mengomunikasikan hal-hal yang diamati dan dipahaminya (In Nugroho Budisusanto SJ, 2019).
Namun disayangkan, sampai saat ini stigma mata pelajaran seni budaya masih dipandang sebagai mata pelajaran komplementer yang bukan merupakan skala prioritas. Bahkan banyak pihak yang meremehkan dan menganggap tidak urgen bila dikomparasikan dengan mata pelajaran lainnya seperti mata pelajaran eksakta dan ilmu sosial.
Regulasi Humanis
Menyikapi fenomena tersebut Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, perlunya membuat regulasi yang lebih humanis agar mata pelajaran ini dikembalikan pada porsinya seperti semula mulai dari Kelas X sampai dengan kelas XII dengan pertimbangan. Pertama, pembelajaran lebih mendalam dan efektif. Tentunya kandungan mata pelajaran seni budaya perlu dikemas agar dapat merangsang ranah imajinasi peserta didik dalam penciptaan karya-karya seni karena dimotivasi oleh tingginya apresiasi dan penghargaan komunitas terhadap karya-karyanya.
Kedua, guru-guru yang sudah sertifikasi tidak kekurangan jam mengajar.Untuk kurikulum 2013 sebelum revisi mata pelajaran seni budaya diberlakukan dari kelas X sampai dengan kelas XII, sehingga guru-guru yang sudah sertifikasi pemenuhan jam di sekolah induk bisa tercukupi.
Dampak dari reduksi mata pelajaran seni budaya ini, mengharuskan guru-guru yang kekurangan jam untuk mencari tambahan jam di luar sekolah induknya. Sementara ini, untuk menambah jam di luar dibatasi maksimal hanya 6 jam. Apabila guru-guru seni budaya terganjal sertifikasinya tentunya akan berdampak secara psikologis. Karena kejadian yang menimpa dirinya, bukan semata-mata kesalahannya namun sistem yang membuat mereka sangat kerepotan.
Di samping itu peran pemerintah sangatlah diharapkan untuk lebih mengalokasikan dana pendidikan dengan skala prioritas pada kelengkapan infrastruktur seni budaya, seperti media pembelajaran, gallery, atau gedung kesenian tempat ajang komunitas baik di satuan pendidikan maupun umum untuk mengekspresikan diri lewat karya-karya seninya. Ekspektasinya lebih jauh, hasil pembelajaran seni budaya di satuan pendidikan dapat dinikmati masyarakat luas.
Hal itu selaras dengan UU No. 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, bahwa pemerintah mempunyai kewajiban untuk melaksanakan pemajuan kebudayaan dan menyediakan sarana dan prasarana kebudayaan untuk melaksanakan pembangunan berbasis kebudayaan secara berkelanjutan.
Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd. Guru Seni Budaya SMK Wiyasa Magelang
0 Komentar