Keindahan Fotografi Seni Pertunjukan

Dilihat 1365 kali
Fotografi seni pertunjukan merupakan parameter dalam dokumentasi agar tetap dapat dinikmati secara berkelanjutan.

Di masa purba, seni dokumentasi sudah diawali dengan cara melukiskan suatu peristiwa di dinding-dinding goa. Lukisan yang akhirnya menjadi catatan historis itu merupakan tradisi seni rupa yang terdokumentasi. Pada waktu itu kadang gambar ditemukan secara runtut dalam narasi utuh. Kadang juga ditemukan gambar itu tampil dalam beberapa lapis latar. Setiap latar memiliki ruang dan waktu tersendiri. Di Indonesia banyak dijumpai pada relief-relief candi, lukisan tradisional Bali, lukisan wayang beber, dan lain-lain.


Pada saat ini, dokumentasi bertumpu pada fotografi, walaupun sudah banyak pula yang memanfaatkan gambar bergerak. Peristiwa-peristiwa penting dalam aneka peristiwa dapat diabadikan oleh cahaya yang membakar elemen-eleman penangkap cahaya dan menggambarkannya dalam sebuah plat.


Fotografi adalah gejala menangkap cahaya untuk menghadirkan kembali semua benda di hadapannya. Perkembangan demikian pesat hingga mencapai ruang dan waktu yang tak terbatas. Dalam konteks peradaban, teknologi fotografi merupakan bagian dari seluruh teknologi yang terkait dengan karya dokumentasi (Pincuk Suroto, 2010).


Perkembangan Fotografi


Elaborasi fotografi di Indonesia selalu berkaitan dan mengalir bersama momentum sosial politik perjalanan bangsa ini. Pada tahun 1841, seorang pegawai kesehatan Belanda bernama Jurian Munich mendapat perintah dari Kementerian Kolonial untuk mendarat di Batavia. Munich diberi tugas mendokumentasikan tanaman-tanaman serta kondisi alam yang ada di Indonesia sebagai cara untuk mendapatkan informasi seputar kondisi alam.


Selama kurang lebih 100 tahun eksistensi fotografi di Indonesia (1841-1941) dalam penguasaan alat secara eksklusif ada di tangan orang Eropa. Warga lokal yang beruntung mendapat pelajaran fotografi adalah Kasian Chepas. Seorang warga pribumi yang diangkat sebagai anak oleh pasangan Andrianus Schalk dan Eta Philipina Kreeft, yang disekolahkan ke Belanda. Chepas ini yang pertama kali mengenalkan dunia fotografi ke Indonesia. Nama Kassian Cephas mulai terlacak dengan karya fotografi tertuanya buatan tahun 1875, seperti foto wayang orang atau kegiatan kesenian di Istana Jawa.


Masuknya Jepang pada tahun 1942 telah menciptakan kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk menyerap teknologi ini. Demi kebutuhan propagandanya, Jepang mulai melatih orang Indonesia menjadi fotografer untuk bekerja di kantor berita mereka yang dinamakan kantor berita Domei. Pada saat itulah muncul nama-nama fotografer Nasional seperti Mendur bersaudara, Alexius Impurung Mendur, dan Frans Sumanto Mendur. Merekalah yang membentuk imaji baru tentang Bangsa Indonesia. Pada waktu itu dapat dikatakan sebagai momentum ketika fotografi secara faktual benar-benar sampai ke Indonesia, ketika kamera berpindah tangan dari orang Indonesia mulai mempresentasikan dirinya sendiri (Majalah Gong, Edisi/X/2010).


Pada saat ini ratusan bahkan ribuan fotografer menyebar seantero Nusantara baik amatir maupun professional. Fotografi yang dulunya dikenal sebagai hobi mahal kini menjadi sesuatu yang biasa dan bahkan untuk sebagian kalangan dapat dijadikan ceruk penambah rezeki atau nafkah seseorang.


Sungguhpun sekarang foto tak sekadar sebagai hasil reproduksi atau hanya untuk mengabadikan saja. Di sisi lain, elaborasinya tak hanya dalam taraf persaingan teknologi atau merek kamera, tetapi menjurus pada tuntutan estetika. Di sini fotografer tidak asal membidikkan kameranya saja, namun pertimbangan estetika menjadi parameter untuk dapat diketahui tingkat kapabilitas dan piawainya dari hasil yang telah dilakukan.


Event Seni Pertunjukan


Berbagai event seni pertunjukan yang eksotis maupun kolosal sampai saat ini ibarat objek para fotografer, baik amatir maupun profesional. Sekadar contoh, kegiatan event di Kabupaten Magelang, mulai dari Festival Lima Gunung, Ruwat Rawat Borobudur, Wayang Sakral Merapi, Festival Kesenian Tradisional, dan lain-lain telah menyemarakkan kegiatan seni budaya yang telah dibadikan oleh para fotografer dan juga wartawan.


Begitu publikasi event tersebut dikumandangkan, imajinasi para fotografer pun mulai mengembara, membayangkan betapa eksotisnya acara tersebut. Berbagai kemampuan teknis untuk menghasilkan hasil bidikan menjadi pemantik yang sangat positif. Event-event seni pertunjukan akan menjadi buruan yang menarik bagi para fotografer.


Sebelum teknologi ini dikenal, foto-foto tentang seni pertunjukan, terutama kesenian tradisional, masih jarang dijumpai. Kalaupun ada adalah foto-foto pendukung buku-buku dari beberapa disiplin ilmu, seperti antropologi atau seni tradisi. Munculnya para fotografer profesional juga menjadi kontribusi besar dan berharga sehingga berbagai jenis kesenian muncul baik sebagai benda pos, seperti perangko dan kartu pos. Dalam jagat digital saat ini karya-karya mereka muncul web, akun personal atau lembaga, juga instagram.


Dengan demikian, kontribusi para fotografer tersebut sangat besar bagi seni pertunjukan. Semua kegiatan bisa diabadikan, bahkan kalau para fotografer tersebut mengirim hasil bidikannya ke media massa atau ke jajaring digital merupakan kontribusi yang tak ternilai harganya sebagai ajang promosi dan publikasi.


Karena perlu juga disadari, seni pertunjukan adalah seni sesaat yang akan hilang setelah kegiatan selesai bila tidak diabadikan atau dijadikan narasi. Di samping itu keindahan fotografi seni pertunjukan tersebut dapat menjadi santapan estetika yang tidak dapat diukur nilainya. Santapan estetika tersebut secara rohani merupakan modal utama manusia untuk melangsungkan kehidupannya.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)


Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar