Keindahan Wastra Nusantara

Dilihat 1229 kali
Wastra dari berbagai motif batik proses pembuatannya membutuhkan ketekunan dan ketelitian. Sylvie Jolymoy, wisatawan dari USA mencermati proses pembuatan wastra di Rumah Batik Lumbini Tingal Kulon, Desa Wanurejo, Borobudur, Kabupaten Magelang.

Dalam proses perjalanan waktu, bangsa Indonesia sudah dikenal secara kosmopolitan memiliki keanekaragaman budaya yang sangat unik dan spesifik. Adapun kebudayaan dapat dimaknai sebagai hasil budi daya manusia yang dapat diterapkan dalam kehidupan keseharian baik masa kini sampai masa depan.


Indonesia sebagai negara kepulauan terdiri atas keberagaman suku bangsa. Tiap etnik tersebut memiliki warisan budaya yang berkembang selama berabad-abad, serta mengakar dalam kehidupan keseharian. Fenomena dalam akselerasi budaya itu menjadikan Indonesia sebagai negara multikultur yang tidak ada duanya di dunia.


Di antara keanekaragaman budaya tersebut, di tanah air terdapat bentuk kain tradisional atau wastra yang sudah ada sejak zaman feodal dan eksistensinya masih tetap hidup sampai saat ini. Masing-masing daerah memiliki wastra sebagai ikon dari daerah tersebut yang menandakan bahwa wastra sampai saat ini tetap menjadi bagian kehidupan komunitas.


Mencerminkan Karakter


Berdasarkan etimologinya, wastra berasal dari bahasa Sansekerta yang bermakna kain tradisional yang pembuatannya dilakukan secara manual dan tradisional. Sebagai negara kepulauan yang terdiri dari 37 provinsi, Indonesia memiliki beragam kekayaan wastra yang patut dibanggakan. Setiap Wastra memiliki nilai filosofis dan merefleksikan berbagai karakter.


Ada Songket dari Padang, Ulos dari Batak, Tapis dari Lampung, Blongket dari Palembang, Grising dari Desa Tenganan Bali, Batik Jumputan dari Jawa, Tenun Tolaki dari Kendari, Batik dari Jawa, dan masih banyak lagi. Karakter budaya bangsa tersebut terefleksikan dalam proses pembuatan wastra yang membutuhkan waktu, pemikiran, dan juga tenaga.


Pada dasarnya wastra atau kain tradisional menjadi elemen penting dan mendasar sebagai suatu kebutuhan di setiap daerah. Setiap wastra memiliki narasi tersendiri di balik pembuatannya. Dari kedalaman makna tersebut, kiranya penting bagi semua pihak untuk mengingat kembali saat wastra diciptakan, terdapat doa, harapan, dan pemaknaan terhadap simbol-simbol dari selembar kain.


Wastra juga menunjukkan kepribadian, pengaruh, dan selera pemakai. Wastra yang digunakan oleh komunitas istana atau keraton tentu berbeda dengan wastra yang digunakan oleh masyarakat niaga. Pada umumnya keraton memiliki aturan yang ketat, sehingga produk-produk yang diperuntukkan bagi kaum bangsawan dan komunitas istana dibuat dengan regulasi (pakem) tertentu pula.


Sebagai contoh wastra batik yang menjadi simbol busana kalangan bangsawan, dijumpai motif batik parang rusak mempunyai makna menyingkirkan segala macam godaan yang akan merusak sendi-sendi kehidupan. Dalam motif ini juga mengedukasi agar semua insan manusia hendaknya mempunyai perilaku yang mengedepankan nilai budi luhur dengan ekspetasi dapat memerangi nafsu maupun godaan.


Dalam hal ini pemakaian motif juga disesuaikan dengan penggunanya, yaitu raja, pangeran, dan prajurit di lingkungan istana pada masanya. Motif-motif wastra batik tersebut diprediksikan diciptakan pada masa Kerajaan Mataram diperintah oleh Mas Rangsang yang bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma.


Penguasa Mataram tersebut berusaha memberi semangat kepada pasukannya ketika menuju Batavia untuk melawan kolonial Belanda. Dikisahkan prajurit Mataram ketika maju ke medan perang, tidak ketinggalan selalu mengenakan wastra bermotif parang rusak. Ada lagi, motif truntum sebagai semiotika cinta yang bersemi. Pemakaian motif ini melambangkan orang tua yang menuntun anaknya dalam upacara pernikahan sebagai pintu masuk dalam menjalankan kehidupan baru yaitu hidup berumah tangga yang dalam perjalanannya sering dijumpai banyak cobaan hidup. Dengan memakai motif wastra ini, ada ekspetasi akan langgengnya kehidupan perkawinan, ditandai kasih sayang keduanya yang selalu bersemi di sepanjang waktu (Majalah Seni Budaya Gong, No.106/X/2009).


Lain halnya dengan komunitas niaga di daerah-daerah yang sering didatangi orang-orang dari mancanegara atau luar daerah. Fenomena tersebut melahirkan nilai-nilai keindahan tersendiri. Oleh karena itu, tidak mengherankan, kalau dalam masyarakat niaga, tingkat kreativitas dan inovasi melahirkan produk baru lebih ditantang, karena harus menyelaraskan dengan pertimbangan dinamika pasar yang selalu berkembang. Sebagai contoh batik pesisir gedog dari Tuban yang sudah merambah ke pasaran mancanegara. Sebagaimana diketahui Tuban adalah kota pesisir juga kota niaga yang sejak zaman Kerajaan Singasari sudah manjadi transit atau tempat singgah para pendatang dari mancanegara.


Dalam elaborasinya, wastra tak berhenti pada fungsi praktis sebagai alat penutup tubuh. Selain makna filosofis yang dapat menjadi tuntunan, bahkan ada yang mempercayai wastra sebagai terapi atau penolak bala dari berbagai mara bahaya yang akan mengancam laku jentera kehidupan manusia.   


Salah satu komunitas yang memiliki keyakinan kuat sampai saat ini, misalnya masyarakat Bali Aga di Tenganan, Pulau Bali. Komunitas adat ini sangat memercayai bahwa tenun grinsing yang menjadi wastra spesifik mereka itu punya khasiat sebagai alat penyembuh dari berbagai penyakit.


Di samping itu, ada pula yang memposisikan wastra sebagai simbol stratifikasi sosial seperti di daerah Sumatera Selatan, ketika wilayah itu masih dalam naungan kerajaan maritim Sriwijaya. Benang emas yang mereka pakai dalam songket adalah simbol kejayaan, karena saat itu Kerajaan Sriwijaya memiliki emas berlimpah yang merajai seluruh Nusantara.

 

Proses Kreatif


Pada dasarnya, estetika atau keindahan wastra perlu dinilai secara komprehensif mulai dari proses pembuatannya hingga tahap pemakaiannya, tidak hanya sekadar hasil akhirnya saja. Untuk itu, fungsi wastra tidak hanya berhenti pada penutup tubuh, namun merupakan resultansi dari proses kreatif panjang para seniman yang dengan tekun dan telaten dapat merajut karya dalam wujud nyata.


Proses kreatif mereka menjadikan pemantik ekspresi yang menandakan makin kayanya perkembangan wastra yang sangat berguna untuk pengayaan ragam wastra di Nusantara. Estetika wastra yang sudah ada sejak zaman feodal tersebut, sampai saat ini juga telah menginspirasi para desainer untuk terus mengembangkan dalam ajang pameran bergengsi yang spektakuler.


Adapun yang perlu juga menjadi perhatian, karya seni wastra tersebut, perlu juga didesiminasikan melalui berbagai lembaga mulai dari tingkat yang paling bawah, seperti sanggar seni, sanggar busana, kelompok masyarakat, pemerintah daerah, dan beberapa komponen lainnya.


Aktualisasinya bisa dilakukan dengan pelatihan, penelitian, pameran, pemakaian wastra hasil para pengrajin lokal baik di lingkup institusi pemerintah, swasta, atau BUMN. Melalui aktualisasi nyata tersebut, seni wastra akan terus dapat menjadi perhatian dan membumi di lingkup berbagai komunitas.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan  Mertoyudan, Kab. Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar