Korelasi Lebaran Dengan Kultur Setempat

Dilihat 1325 kali
Foto: lcc-abbeytravel.com

Ritus puasa yang panjang berpuncak pada lebaran. Secara faktual, lebaran dalam implementasinya bukan dinikmati kalangan santri saja. Kalangan non santri dan non muslim pun turut menstimulasi secara moral dan mendukung kegaitan lebaran. Melalui lebaran integrasi dibangun yang menghilangkan berbagai sekat ataupun perbedaan.

Melalui lebaran juga dapat dirajut tali silaturahmi yang menyatukan dalam satu harmoni kehidupan. Yang jauh didekatkan, yang putus disambung, yang berbeda diharmonikan, yang terpisah dipertemukan, dan yang rusak diperbaiki.


Antropolog dari Amerika Serikat yang banyak melakukan penelitian tentang budaya Indonesia yaitu Clifford James Geertz pernah juga menyebutkan bahwa Lebaran adalah ritus yang paling menasional di Indonesia, karena berbagai komponen ikut mendukung dan merayakan kegiatan tersebut yang dapat mengikis berbagai batasan (Majalah Gong, 2007).


Dari terminologinya saja, lebaran mengusik segudang pertanyaan yang bikin penasaran. Masyarakat Jawa juga sering menyebut Lebaran dengan istilah riyaya (hari raya) yang dimaknai sebagai hari kemenangan. Kata raya dalam perayaan merujuk istilah peristiwa kemenangan umat Islam selama satu bulan penuh mengalahkan berbagai hawa nafsu dan menahan diri.


Selain itu, orang Jawa juga sering menggunakan istilah bakda untuk menyebut hari raya. Bakda bermakna sesudah atau fase setelah menjalankan ibadah puasa yang membuat manusia mendapatkan rahmat-Nya, ampunan-Nya sehingga terbebaskan dari siksa api neraka.


Korelasi budaya setempat


Bila ditelisik, lebaran merupakan puncak dari himpunan berbagai ritus sebelumnya yang dijalani selama bulan puasa. Dari situ dapat terlihat betapa lebaran sangat erat korelasinya dengan budaya setempat. Lebaran menjadi sangat kaya dengan makna, bukan hanya dari sisi peristiwa keagamaan saja, melainkan dengan kultur yang melingkupinya.


Sebagai contoh di Keraton Yogyakarta tiap tanggal 1 Syawal terdapat upacara tradisi Grebeg Syawal.Tradisi Grebeg ini adalah simbol Hajat Dalem yang bermakna sebuah bentuk kedermawanan sultan kepada rakyatnya. Pada hari-hari Grebeg itu, sultan berkenan memberikan sedekah berupa makanan dan berbagai hasil bumi lainnya yang disusun meninggi membentuk kerucut seperti sebuah gunung yang sering disebut gunungan.


Gunungan ini akan dilepas melalui prosesi iring-iringan prajurit kraton yang menjadi daya tarik tersendiri. Usai berdoa, gunungan dilepas ke masyarakat untuk diperebutkan. Namun demikian, pada hakikatnya bukan seberapa banyak masyarakat mendapatkan bagian gunungan ini tapi berkah yang mereka cari.


Upacara tradisi Grebeg merupakan bentuk akulturasi budaya dan tradisi panjang yang masih dijaga eksistensinya oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat hingga kini. Grebeg diyakini menjadi salah satu metode yang dipakai oleh raja-raja Mataram Islam waktu itu untuk menyebarluaskan agama Islam. Pendekatan jalan damai melalui berbagai kegiatan budaya dan seni ternyata membuat masyarakat lebih mudah menerima ajaran Islam.


Salah satu kultur yang berkaitan dengan momentum puasa dan lebaran adalah ziarah kubur. Adapun praktiknya bisa dilakukan menjelang puasa atau menjelang lebaran. Ziarah yang bertujuan mengirim doa untuk para leluhur ini merupakan tradisi budaya yang sudah turun temurun dan berkelindan dengan kehidupan masyarakat setempat. Ziarah ini mengajarkan kepada umat manusia untuk selalu ingat kepada kematian. Ziarah kubur di hari kemenangan tersebut juga mengandung makna tindakan eskatologis yaitu sebagai momentum mengingat akhir kehidupan manusia.


Tradisi silaturahmi


Detik-detik menjelang lebaran, momen yang paling penting dan ditunggu-tunggu adalah kegiatan anjangsana, mengunjungi sanak famili, teman dekat maupun para tetangga sebagai ajang tali silaturahmi. Momentum silaturahmi ini merupakan mekanisme rekonsiliasi yang sangat efektif dalam upaya penyelesaian berbagai kekhilafan, perselisihan, ketegangan, atau konflik antar anggota keluarga atau masyarakat yang terjadi di masa silam. Selain itu, silaturahmi juga bisa dijadikan sebagai sarana atau medium relasi sosial untuk memecahkan berbagai kebuntuan dan masalah yang rumit di dalam keluarga maupun masyarakat.


Tradisi silaturahmi ini, terasa lebih semarak manakala anak-anak setelah Salat Ied langsung mengunjungi rumah tetangga. Tidak terbatas pada tetangga dekat saja, namun juga tetangga jauh. Tradisi silaturahmi masing-masing daerah mempunyai nama spesifik, namun tujuannya sama yaitu merajut ikatan persaudaraan secara tulus. Di Jawa tradisi silaturahmi saat lebaran dinamakan ujung. Di Palu disebut bagala, di Riau dinamakan sagu hati, di Padang dengan sebutan manambang, dan beberapa daerah lainnya tentunya tentunya juga memiliki nama yang spesifik.


Perayaan lebaran tahun ini, sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Tentunya kita juga harus patuh pada aturan yang sudah berlaku, bahwa perayaan lebaran tahun ini ada batasannya karena bahaya Covid-19 masih terus mengancam di sekitar kita. Pembatasan tersebut tentunya dilakukan demi tujuan yang lebih besar guna menekan laju Virus Covid-19.


Lebaran yang sarat akan makna filosfofis mendalam sebagai perayaan kemenangan setelah sebulan melalukan laku prihatin, tahun ini bisa dirayakan dengan cara lain yang tak mengubah substansinya. Tali silaturahmi bisa dilakukan dengan mengoptimalkan perangkat informasi dan teknologi (IT), seperti aplikasi zoom, whatsapp, video call, dan sebagainya.


Kembali ditegaskan, perayaan lebaran sebagai budaya tradisi turun temurun, perlu menyesuaikan dengan kondisi yang sedang berjalan. Karena diyakini, peristiwa budaya tersebut tidak kaku namun selalu dinamis seiring dengan bergulirnya waktu dan situasi yang terjadi.


Selamat Hari Raya Idul Fitri 1442 H

Mohon Maaf Lahir dan Batin



(Penulis: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kec. Mertoyodan Kabupaten Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar