Membangun Kesadaran Nasional Siswa di Lembaga Pendidikan

Dilihat 257 kali

Sering kita melihat di berbagai destinasi wisata pantai ternama di Indonesia, sejumlah turis bule berjemur di pantai yang indah dan menawan. Peristiwanya memang biasa-biasa saja, apa anehnya orang berjemur, apa lagi yang berjemur itu adalah mereka yang di negaranya matahari kurang begitu bersahabat. Tapi nanti dulu, ada soal ikutan lainnya yang perlu disimak: para turis bule itu hanya mengenakan sepotong celana pendek mini, bahkan mereka nyaris telanjang.


Para turis bule itu tentu tidak sedikit pun merasa risih, sebab kebudayaan mereka memang menganggap pakaian pantai seperti itu teramat wajar adanya. Tidak ada yang aneh bagi mereka. Apa lagi nilai-nilai yang mereka anut juga menganggap hal semacam itu proporsional. Bagi mereka menjadi tidak proporsional kalau berjemur di tepi pantai dengan pakaian sipil lengkap alias jas dan dasi, atau pergi ke pesta dengan pakaian renang yang sangat minim.


Soalnya ialah apakah nilai-nilai yang mereka anut maupun kebudayaan mereka itu universal, berlaku di mana saja dan kapan saja? Sudah barang tentu tidak! Tapi justru di sini ada soal besar yang patut direnungkan. Sebagian kita malah menganggap apa yang dibawa oleh para bule itu  pasti benar dan baik, sehingga tak pelak lagi cara-cara dan nilai-nilai baru itu diadopsi apa adanya. Tidak ada lagi seleksi kultural maupun nilai yang dapat menyaring mana yang  sesuai dengan kebudayaan dan nilai yang kita anut dan mana yang tidak.


Celakanya, hal-hal lahiriah yang hedonis, materialistis justru yang lebih digemari oleh sebagian kita, ketimbang hal-hal substansial seperti kerja keras, keteraturan, keterbukaan, demokratis, dan pendekatan teknologis yang dibawa para bule itu. Ketika menonton sepak bola, misalnya, yang mudah dan kemudian ditiru adalah hooliganisme sepak bola, bukan kemampuan mengolah bola disertai organisasi serangan dan pertahanan yang prima.


Kita juga masih sering mendengar bagaimana soal-soal penting semacam ini dianggap sepele. Kita, misalnya, senang dan bangga mengungkapkan bahwa bangsa Indonesia sudah terbiasa dengan kontak budaya karena letak geografisnya. Tapi sering dilupakan bahwa kali ini kontak budaya itu terjadi dalam skala yang cukup besar, cepat, multidimensional dan serempak, sehingga tidak dapat dielakkan terjadinya dekulturasi, maladaptasi, dan disrupsi kultural.


Pengaruh yang paling mencolok terlihat dalam kultur pop, baik dalam musik, informasi, bahasa, film, makanan, pakaian, gaya hidup, administrasi publik, dan usaha, mode dan kegemaran, arsitektur, rekreasi, sikap mental, pertanian, maupun pendidikan. Yang harus diwaspadai adalah lunturnya inti identitas jati diri sebagai bangsa atau nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.


Persoalannya bagi kita saat ini adalah bagaimana membangun kesadaran nasional sehingga setiap orang sadar akan kelebihan nilai budaya maupun nilai-nilai prinsipal yang dianutnya, tanpa sama sekali menutup diri terhadap berbagai nilai positif lainnya yang datang dari luar. Tanpa ini maka usaha membangun pariwisata sebagai salah satu sumber devisa utama justru akan membawa dampak yang tidak menguntungkan kita sebagai sebuah bangsa yang merdeka. Kita akan mengalami fenomena kehilangan identitas dalam skala besar, yang akan menyebabkan kita menjadi permainan budaya orang lain.


Hal ini diingatkan tidak dengan maksud untuk mengecilkan arti pembangunan pariwisata kita. Sama sekali jauh dari maksud itu. Akan tetapi peringatan dini perlu diberikan melihat pengaruh negatif dari pengembangan pariwisata jika tidak digerakkan dengan kesadaran penuh untuk menumbuhkan kebudayaan nasional. 


Sampai saat ini paling sedikit dapat disebut dua hal ikutan dari pengembangan pariwisata di tanah air. Pertama, kecenderungan sebagian masyarakat kita untuk meniru hal-hal negatif yang bersumber dari cara hidup orang lain yang cenderung hedonistis-materialistis dan dalam tingkat tertentu bertentangan secara diametral dengan nilai-nilai prinsipal yang kita anut, sudah semakin kuat sosoknya. 


Kedua, simbol-simbol budaya maupun ritual tertentu dikembangkan sekedar sebagai tontonan bagi para bule tanpa makna. Padahal simbol-simbol budaya dan ritual tertentu itu sesungguhnya memuat pesan moral dan nilai prinsipal yang adiluhung.


Kalau begitu apa yang dapat kita lakukan untuk membangun kesadaran nasional, termasuk kesadaran tentang identitas kita sebagai sebuah bangsa merdeka? Lagi-lagi pendidikan menjadi salah satu tumpuan harapan. Sebab lewat lembaga pendidikan dapat dilakukan proses penyadaran terutama bagi peserta didik yang tetap dan berkelanjutan, penyadaran tentang identitas nasional kita, penyadaran tentang perlunya diperluas cakrawala pergaulan tetapi pada saat yang sama tumbuh juga kepercayaan diri kepada kebudayaan maupun nilai-nilai religius prinsipal yang kita anut. 


Proses penyadaran nasionalisme kepada peserta didik di lembaga pendidikan akan melahirkan manusia dengan watak nasional yang prima, yang terbuka terhadap masuknya nilai budaya luar tetapi mampu menyaring mana yang pas untuk dikembangkan dan mana yang tidak. Semoga.


Penulis: P. Budi Winarto,S.Pd. Guru SMP Pendowo Ngablak Kabupaten Magelang

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar