Tidak dapat dipungkiri, pandemi Covid-19 telah mempengaruhi kebudayaan manusia. Di sisi lain, faktor budaya juga memengaruhi respon masyarakat. Indonesia dan dunia sudah memasuki era normal baru atau adaptasi kebiasaan baru yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Protokol kesehatan yang sebelumnya tidak begitu diperhatikan, sekarang mutlak harus dilakukan guna mencegah penularan virus yang datangnya sulit untuk diprediksi. Salah satunya setiap orang harus mengenakan masker, sebagai proteksi diri. Mengenakan masker menjadi penanda visual normal baru. Fenomena maskeran pada era pandemi Covid-19, dalam perspektif budaya visual dikonstruksikan menjadi gaya hidup baru. Gaya hidup sehat semacam ini wajib dikumandangkan oleh, untuk dan kepada siapa pun demi menghindari mererbaknya Covid-19.
Kebutuhan dan kesadaran merupakan hal yang sangat prinsip sebagai wujud dari manusia yang berkebudayaan. Kiranya perlu disadari kebudayaan akan terus berkembang dan bergulir seiring dengan tanda-tanda zaman. Pada hakikatnya kebudayaan tersebut merupakan keseluruhan dari perilaku makhluk seperti manusia serta hasil yang dapat diperoleh makhluk tersebut melalui berbagai macam proses belajar serta tersusun dengan sistematis dalam kehidupan bermasyarakat (Kontjaraningrat, 1990).
Gaya Hidup Maskeran
Bagi sebagian masyarakat, gaya hidup maskeran dirasakan sebagai siksaan sosial saat mereka ada di pusat keramaian atau di ruang publik. Mereka mengaku risih dan merasa terganggu saat bernapas. Alasan lain, mereka menganggap gaya hidup maskeran mengurangi kecantikan dan kegantengannya. Hal itu mereka keluhkan saat berswafoto bersama rekannya di pusat keramaian atau di ruang publik.
Selain itu, mereka yang enggan mengikuti gaya hidup maskeran dalam konteks protokol kesehatan ditengarai sebagai kelompok penghuni zona nyaman. Mereka bagian dari kelompok masyarakat pemegang teguh prinsip hidup pada umumnya atau pada kebiasaan yang sudah mereka lakukan turun temurun. Mereka merasa kurang nyaman dengan adanya perubahan gaya hidup yang tidak menyertakan mitos dan ideologi pada umumnya (Sumbo Tinarbuka, 2020).
Padahal sejatinya memakai masker adalah bukti empati dan tanggung jawab secara sosial demi menjaga keselamatan dan kesehatan bersama. Meskipun bermasker, seseorang yang tersenyum lebar dan tulus tetap akan terlihat dari mata mereka. Karena mata adalah jendela jiwa, senyum yang terlihat dari pancaran mata tetap akan bisa dikenali orang lain.
Di sisi lainnya, ada kelompok masyarakat yang terbuka dengan segala bentuk perubahan. Mereka memiliki kepedulian sosial tinggi, dan juga tanggung jawab sosial. Kesadaran memakai masker merupkan cerminan hidup masyarakat yang menyikapi perubahan budaya secara positif. Mereka melihat fenomena gaya hidup maskeran sebagai peluang. Sebuah kesempatan emas yang diramalkan akan memberikan kebermanfaatan dan kemaslahatan dalam konteks positif.
Proses Kreatif
Komunitas yang terbuka dengan perubahan ini pada umumnya selalu menangkap ancaman yang menghadang merupakan peluang untuk melakukan perubahan. Mereka muncul ide untuk melakukan proses kreatif membuat desain masker yang menarik publik dan layak jual.
Mereka dengan sadar mengkreasikan desain masker yang unik dan menarik. Ada lagi yang merancang desain masker yang digemari pasar serta memiliki keunikan daya pikat visual bagi pembelinya. Keunikan masker yang didesain inovatif namun tetap mengacu pada standar kesehatan akan menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen.
Fenomena gaya hidup maskeran, berhasil mendayung perputaran gerak kehidupan ekonomi dan industri kreatif bidang fashion yang sebelumnya tersendat. Pada titik ini kemudian bermunculan berbagai ragam gaya desain masker yang berhasil membanjiri pasar fashion di jagat raya maupun jagat maya.
Keberadaan masker dicari bukan semata untuk melindungi diri namun untuk menunjang penampilan. Mulai dari masker dengan desain yang menduplikasi brand dunia juga bermunculan desain masker yang mampu membuat karakter pemakai berbeda-beda, seperti karakter tersenyum, tertawa, raksasa, badut, berkumis, sampai karakter bentuk-bentuk hewan lainnya yang lucu. Bentuk masker karakter banyak disenangi kalangan usia anak-anak dan remaja.
Adapun bila dilihat klasifikasinya ada tiga kelompok komunitas yang melakukan proses kreatif desain masker ini. Pertama, kelompok orisinalitas, yaitu kelompok yang membikin masker polos dan standar sesuai aturan normatif yang berlaku.
Kedua, kelompok promosi. Kelompok ini mendesain masker dengan gaya promosi ini yang sengaja masker dibuat dan difungsikan sebagai media promosi bagi siapa pun yang ingin memanfaatkannya. Di dalamnya terpampang pesan visual berupa ilustrasi dan pesan verbal berbentuk teks singkat.
Ketiga, kelompok karakter. Ciri visual desain masker ini tampil dalam kemasan visual fotografis. Tanda visual lainnya, berwujud separuh wajah pria berkumis, orang tertawa, orang bergigi ompong, perempuan cantik tersenyum, dan lain-lain. Kadang juga terlihat desain penampakan visual mulut, dagu dan rahang berbagai macam binatang buas. Desain masker ini sanggup menghilangkan identitas asli pemakainya. Proses kreatif ini dilakukan untuk menghilangkan kejenuhan atau monotonitas. Harapannya pemakainya mendapatkan alternatif variasi dari masker yang ingin dipakai.
Mengamati dari proses kreatif dari para desainer masker tersebut, menandakan masker sudah menjadi budaya masyarakat di era sekarang. Karena disadari kebudayaan dari waktu ke waktu akan selalu berkembang sebagaimana fungsinya yang menegaskan bahwa kebudayaan berfungsi sebagai pedoman hidup manusia. Dengan kesadaran memakai masker sebagai salah bagian dari protokol kesehatan merupakan bukti faktual bahwa masyarakat sudah sadar berbudaya.
(Oleh: Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd., Guru Seni Budaya SMK Wiyasa Magelang)
0 Komentar