Menulis Butuh Pembiasaan

Dilihat 1023 kali
Dalam berbagai workshop menulis, para guru perlu mendapat pendampingan dari narasumber secara intensif dan berkelanjutan sampai menghasilkan produk.

BANYAK guru yang memiliki keinginan untuk menuangkan ide atau gagasan dalam bentuk tulisan artikel atau opini populer, namun dalam tahapan proses sering menemui batu sandungan yang seakan sulit menemukan solusinya. Di antaranya ide muncul namun untuk memulai membuka lead atau paragraf awal yang menarik sulit untuk merangkai dalam kalimat.

Ada juga yang menemui kesulitan dalam mengorelasikan pengalaman mengajar untuk ditulis dengan teori-teori pendukung tulisan, memberikan solusi kepada publik di akhir tulisan, buntu dalam mencari isu-isu aktual yang muncul di tengah-tengah masyarakat, dan banyak lagi hal-hal teknis yang mereka rasakan dalam tahapan proses tersebut.

Dari berbagai kendala teknis tersebut apabila tidak segera mendapat pencerahan, imbasnya tulisan akan berhenti di tengah jalan. Bila tidak disentuh lagi, lama kelamaan akan hilang seperti awan tertiup angin. Mereka juga merasakan, apabila tulisan tertunda, maka ide orisinalnya akan raib, lama kelamaan enggan untuk meneruskan tulisannya. Permasalahan tersebut muncul dalam workshop guru menulis yang difasilitasi oleh APKS PGRI Kota Magelang selama dua hari berturut-turut (11 s.d. 12 Oktober 2023).

Menembus Ruang dan Waktu

Apabila ditelisik lebih jauh, menulis merupakan aktivitas kompleks yang tidak hanya sekadar menuangkan ide dalam guratan kalimat yang layak dibaca. Lebih daripada itu menulis merupakan kiat menuangkan pikiran dan menyampaikan ke ranah publik. Menulis pada dasarnya adalah sebuah aktivitas yang membutuhkan kejelian dan kecermatan dalam menuangkan ide tersebut sehinga layak dikonsumsi publik. Ide bisa tertuang dalam bentuk tulisan tersebut akan abadi bagaikan menembus batasan ruang dan waktu, karena akan dibaca dan menjadi inspirasi generasi berikutnya.

Adapun modal dasar penulis yang sangat prinsip paling tidak memenuhi aspek kemauan, pengetahuan, dan keterampilan. Aspek pengetahuan merujuk pada dorongan dalam dirinya yang menjadi motor penggerak untuk bertindak dalam tataran prakis. Aspek pengetahun lebih ditekankan pada usaha penulis untuk selalu membekali dirinya dengan berbagai aspek pengetahuan menulis dengan banyak membaca, aktif mengikuti forum diskusi, melihat, mengamati, mendengar, dan mengamati isu-isu aktual.

Sedangkan aspek keterampilan merujuk pada sinergitas harmonis antara daya otak dan daya tangan. Menulis perlu dilakukan dengan pembiasaan terus menerus. Konsep belajar  trial and error atau belajar mencoba dari berbagai kesalahan apabila dilakukan dengan kesabaran dan ketekunan nantinya akan menuai keberhasilan. Dengan demikian, keterpadauan antara tiga aspek kemauan, keterampilan, dan pengetahuan merupakan modal utama penulis dalam menjalankan proses kreatifnya.

St. Kartono dalam buku bertajuk Menulis tanpa Rasa Takut Membaca Realias dengan Kritis (2009) menegaskan, bahwa tulisan opini perlu dibangun baik dari pengungkapan masalah, pemaparan evaluasi, dan solusi. Tiga bagian tersebut menunjukkan keseimbangan dalam berpikir dan mengritik persoalan.

Opini yang berhenti sebatas memunculkan masalah dan mengevaluasinya tentu akan dianggap timpang, sekadar jatuh dalam sikap suka atau tidak suka tanpa memperhatikan alternatif pemecahan masalah. Untuk itu tulisan opini perlu mempertimbang penekanannya pada tulisan yang tajam, berbobot, dan berimbang yang imbasnya dapat memberikan pencerahan kepada publik yang berorientasi pada perubahan positif.

Untuk itu dalam ide awal sebelum menulis, perlu digali dari banyak melihat, mendengar, dan membaca isu-isu aktual dengan harapan penulis mempunyai tujuan dari ide awal yang digali tersebut akan melakukan proses kreatif berdasarkan hasil pengamatan layaknya seorang periset dengan menulis berdasarkan validasi data atau fakta yang berkembang di masyarakat.

Konsisten Menekuni

Adapun yang perlu mendapat perhatian bersama, untuk mendapatkan hasil yang diharapkan, konsisten dalam menekuni keterampilan menulis ini perlu lebih diotimalkan. Sebagian para guru, merasakan ketika ide berhenti di tengah jalan, mereka tidak segera mencari solusi untuk melanjutkan tulisannya, sehingga tulisan akan terbengkalai.

Di samping itu, mereka juga sudah patah arang ketika artikel yang dikirim ke media massa ditolak, tanpa berusaha untuk mengoreksi atau refleksi lebih jauh dari segala kekurangannya tersebut. Atau juga mereka terlalu euforia ketika artikelnya dimuat di media massa, sehingga abai untuk melakukan proses kreatif berikutnya.

Dengan demikian, menulis diharapkan menjadi pembiasan guru yang dilakukan secara berkelanjutan. Menulis tidak mungkin dihasilkan secara instan. Menulis dihasilkan dari pembiasaan dan konsisten untuk terus berlatih. Bisa diawali dari pembuatan modul pembelajaran di sekolah. Peserta didik juga akan bangga apabila gurunya bisa membuat modul sendiri untuk media pembelajaran. Mereka harus meyakini bahwa menulis bukanlah pertama-tama dilahirkan, tetapi hasil pembelajaran yang dilakukan dengan penuh ketekunan.

Di samping itu, juga pelatihan-pelatihan guru menulis yang sudah banyak dilakukan oleh jajaran Dinas Pendidikan, organisasi profesi, atau lembaga-lembaga swasta, perlu mendampingi para guru sampai bisa membuat produk atau karya mereka dipublikasikan. Para guru perlu mendapat pendampingan intensif pasca pelatihan baik untuk konsultasi maupun mencari solusi dari kendala-kendala teknis yang ditemui.


(Oleh: Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd., Guru Seni Budaya SMK Wiyasa Magelang)

Editor Slamet Rohmadi

0 Komentar

Tambahkan Komentar