Menumbuhkan Budaya Literasi dengan Buku untuk Peserta Didik

Dilihat 134 kali

Tahun pelajaran 2024-2025 baru saja dimulai. Setelah empat minggu libur, peserta didik masuk kembali ke sekolah. Rutinitas pembelajaran di sekolah sudah berjalan seperti biasa. Minggu pertama sekolah diisi dengan kegiatan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah Peserta Didik (MPLSPD). 


Dalam kegiatan MPLSPD disosialisasikan dan diperkenalkan kegiatan-kegiatan yang ada di sekolah, baik kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. Kegiatan intrakurikuler yang saat ini digulirkan oleh pemerintah dan menjadi fokus utama kegiatan di sekolah-sekolah adalah yang menumbuhkan budaya literasi di kalangan peserta didik. Lalu, bagaimana cara menumbuhkan budaya literasi di kalangan peserta didik di era kurikulum merdeka saat ini? Salah satu cara yang bisa dilakukan sekolah untuk menumbuhkan budaya literasi adalah dengan membumikan buku di kalangan peserta didik.


Membumikan buku di kalangan peserta didik


Jika menyinggung masalah buku di era kurikulum merdeka saat ini, muncul sebuah pertanyaan di hati kita, apakah buku telah menjadi makanan peserta didik di Indonesia sehari-hari, apakah buku telah menjadi kebutuhan, bukan lagi kewajiban, sebagaimana harapan dari pemerintah? Ternyata hingga saat ini belum. Pelajar kita masih jauh dari kondisi ideal tersebut.


Padahal, buku bukanlah barang baru bagi peserta didik, tetapi isi yang terdapat dalam sebuah buku, khususnya buku pelajaran sekolah, tidak jarang jarang menjadi momok bagi peserta didik. Berbagai faktor mempengaruhi minat peserta didik terhadap buku. Faktor-faktor tersebut bisa berasal dari buku itu sendiri atau faktor internal, dan dari luar buku atau faktor eksternal.


Faktor internal dibagi menjadi dua. Pertama, keadaan fisik buku. Walaupun hanya bersifat visual, sebenarnya rangsangan utama seseorang ingin membaca buku adalah melalui reaksi visual. Hal ini meliputi sampul buku, jenis kertas, jumlah halaman, dan sebagainya.

Kedua, keadaan psikis buku. Hal ini tergantung kepada faktor yang pertama. Jika diibaratkan, faktor ini hanya pelancar dan pengendali keinginan seorang pembaca untuk masa-masa selanjutnya. Dalam artian sederhana, jika seseorang telah membaca dan memahami isi buku, akan muncul pada dirinya interpretasi terhadap berbagai hal yang menyangkut buku tersebut, dan ini akan menjadi landasan untuk membaca buku-buku lain yang sejenis.


Baik disadari atau tidak, saat ini terjadi penyempitan makna buku di kalangan pelajar kita. Jika diajak untuk membaca buku, maka buku yang dituju cenderung buku pelajaran sekolah. Padahal masih banyak buku-buku umum lainnya yang menarik untuk dibaca. Hal ini tentu saja merugikan karena menyebabkan terkotaknya pengetahuan siswa.

Ibarat peribahasa bagai katak di dalam tempurung. Secara psikologis, hal ini juga akan mempengaruhi tingkat kebosanan peserta didik terhadap buku-buku pelajaran. Apalagi jika buku-buku tersebut tidak memenuhi standar faktor internal seperti yang sudah dijelaskan di atas.


Melalui faktor eksternal, kegiatan membaca di kalangan pelajar akan berhasil baik jika ditempuh dengan manajemen yang profesional, misalnya teknik pembiasaan pengembangan rasa ingin tahu anak dalam keluarga, rendahnya harga buku, variasi bacaan yang ada di masyarakat, metode pengajaran di dalam kelas, dan muatan kurikulum pendidikan.


Pengembangan rasa ingin tahu anak dalam keluarga melalui bacaan merupakan poin yang sangat menentukan faktor eksternal. Hal ini dikarenakan rasa ingin tahu anak mencapai puncaknya pada usia di bawah enam tahun. Jika bisa diarahkan menuju penelaahan buku sebagai salah satu sumber jawaban, tentu sang anak akan gemar membaca setelah besarnya. Jika tidak, pasti kegemarannya dekat dengan hal itu. Apalagi jika buku tersebut penuh dengan gambar-gambar ilustrasi yang menarik. Seperti peribahasa: "bisa karena biasa" dan "buah jatuh tidak jauh dari pohonnya".


Perlu kita sadari bahwa usaha penanaman kegemaran membaca untuk menumbuhkan budaya literasi di kalangan peserta didik di era kurikulum merdeka saat ini pada prinsipnya merupakan usaha meningkatkan kesadaran lebih tinggi dari pada usia, karena sering kali pada tingkat pendidikan tinggi, mahasiswa menyesal karena jarang membaca buku saat bersekolah di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Di sana mereka baru memulai untuk membaca banyak referensi demi keberhasilan pada jenjang S1. Semoga.


Penulis: P.Budi Winarto, S.Pd.Guru SMP Pendowo Ngablak Kabupaten Magelang

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar