Merawat Bangunan Cagar Budaya

Dilihat 473 kali
Bangunan Cagar Budaya Seminari Menengah Santo Petrus Kanisius Mertoyudan Kabupaten Magelang telah ditetapkan sebagai cagar budaya berdasarkan Keputusan Bupati Magelang No.180.182/317/Kep/23/2015 yang dilindungi UU No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Suatu bangunan cagar budaya tempat penyemaian benih-benih panggilan para imam Katolik yang telah menapaki usia 112 tahun.

DALAM suatu kesempatan penulis menyaksikan banyak anak sekolah berwisata mengunjungi beberapa bangunan cagar budaya, seperti candi, museum, bangunan bersejarah, dan benda-benda cagar budaya lainnya. Dengan penuh serius mereka mengamati detail dari bangunan tersebut dengan dipandu guru dan pemandu wisata yang sudah disiapkan.

Beberapa lontaran pertanyaan kritis bermunculan, sebagai indikator rasa keingintahuan mereka cukup tinggi. Selesai bertanya mereka mencatat hasilnya dalam buku catatan. Penulis sempat menanyakan kepada pemandu wisata yang mendampingi mereka, akan intensitas mereka mempelajari beberapa bangunan tersebut. Rupanya, dari kegiatan belajar di luar kelas ini, mereka harus mempresentasikan hasil pengamatan mereka di depan kelas.

Rasa bangga, haru, dan apresiasi setinggi-tingginya kiranya layak diberikan kepada anak-anak tersebut. Jiwa-jiwa muda yang sedang bertumbuh, dengan tekun mau untuk mempelajari hasil dari karya-karya para pendahulu bangsa. Kiranya ini yang bisa dikatakan, mereka memiliki etos dan jiwa nasionalisme sejati. Mereka mau dengan tekun membedah dan manganalisis suatu karya monomuntel para pendalulu sebagai kajian keilmuan, merupakan langkah positif yang layak terus dimotivasi.

Apabila anak-anak sekolah yang secara struktutal, melakukan kajian, karena sebagai bahan pendalaman materi memang sudah digariskan dalam regulasi kurikulum di satuan pendidikan tersebut. Sekarang bagaimana dengan komunitas umum. Kiranya mereka juga perlu memahami dan belajar untuk merawat benda bangunan cagar budaya tersebut agar nantinya dapat juga dinikmati oleh generasi berikutnya.

Wujud Pemikiran

Sebagaimana tertuang di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya ditegaskan bahwa cagar budaya sebagai kekayaan kultural suatu bangsa merupakan wujud nyata pemikiran dan perilaku manusia yang dapat dilihat dan dicermati sampai saat ini. Implikasinya  wujud pemikiran dan perilaku kehidupan tersebut sebagai penguat bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Bertitik tolak dari dasar tersebut, kiranya eksistensinya mestinya senantiasa dilestarikan, dihidupkan, serta dikelola secara tepat melalui berbagai upaya perlindungan, elaborasi, dan dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaaan nasional. Dalam hal ini sebagaimana diamanatkan undang-undang, negara bertanggung jawab dalam pengaturan, perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan  cagar budaya.

Cagar budaya merupakan warisan peninggalan kultural para pendahulu bangsa. Wujudnya  berupa benda-benda yang bergerak dan benda-benda yang tidak bergerak.  Benda-benda yang tidak bergerak dapat dilihat seperti bangunan, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar Budaya di darat maupun di air. Sedangkan benda-benda  bergerak seperti parang, pisau, rencong, keris, guci, piring  dan lainya, sampai saat ini masih tersimpan rapi di banyak museum. 

Pada prinsipnya benda-benda tersebut merupakan peninggalan yang harus dilestarikan, dihidupkan, dikembangkan, dan diwarisi dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Wujud nyata benda-benda yang memiliki nilai kultural dan historis tersebut merupakan bukti sejarah peradaban suatu bangsa yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kemanusiaan.

Adapun fungsi benda-benda cagar budaya tersebut di antaranya pertama, pendidikan dan pelatihan, Cagar budaya menyediakan sumber daya berharga untuk pendidikan dan penelitian. Insititusi pendidikan dan pelatihan tentunya membutuhkan obyek untuk melakukan riset sebagai akuntabilitas ilmiah. Cagar budaya denga segala keunikannya dapat menjadi obyek riset tersebut, yang hasilnya dapat dimanfaatkan oleh publik.

Kedua, pariwisata dan ekonomi.Cagar budaya dapat dimanfaatkan untuk daya tarik promosi wisata budaya yang saat ini menjadi perhatian wisatawan. Di samping sebagai tempat rekreasi juga dapat menjadi destinasi wisata menarik. Di samping itu, juga dapat menopang ekonomi komunitas sekitanya dalam menjalankan roda perekonomiannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa cagar budaya dapat memberikan kontribusi ekonomi bagi komunitas lokal sekitar destinasi wisata.  

Ketiga, membentuk identitas komunitas. Tidak dapat dipungkiri, keberadaan cagar budaya akan menjadi kebanggan komunitas di sekitarnya. Kesadaran dan ikatan emosional akan terbangun dalam nuansa kebersaman untuk dapat menjaga warisan para pendahulu tersebut secara berkelanjutan yang akan diwariskan dan dinikmati oleh generasi berikutnya.  

Keempat, sumber inspirasi. Berbagai cagar budaya dapat menjadi sumbe insprirasi yang tak pernah keriang bagi para seniman, penulis, arsitek, dan individu kreatif lainnya untuk melakukan proses kreatif. Karya-karya para seniman yang sudah merambah lintas negara, tak jarang inspirasinya berawal dari cagar budaya tersebut. Fenomena inpirasi tersebut dapat memantik  ekspresi seni dan pembangunan karya-karya yang terinspirasi oleh warisan budaya (Fitriyani Puspa, 2023).

Menumbuhkan Kesadaran Bersama

Mengingat begitu signifkannya fungsi benda-benda cagar budaya tersebut sebagai identitas bangsa baik saat ini untuk masa depan, kiranya kesadaran bersama seluruh komponen masyarakat untuk ikut merawat merupakan hal yang perlu diperhatikan. Kalau di sekolah, sudah digariskan dalam kerangka strukur kurikulum dengan pendampingan insentif dari guru, sehingga anak-anak sekolah dapat terkondisikan.

Sedangkan di masyarakat umum, kiranya membutuhkan pemikiran tersendiri. Peran pemerintah sebagaimana diamanatkan undang-undang sebagai fasilitator dan pemantik kesadaran masyarakat, perlu melakukan terobosan-terobosan kebijakan agar cagar budaya tersebut dapat terawat dengan baik serta juga dapat dimanfaatkan selaras dengan proporsinya.

Pemerintah desa sebagai garda depan pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat dapat lebih intensif menyosialisasikan UU No. 10 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Sosialisasi tersebut tentuknya dilakukan dengan kebijakakan praksis, agar warga masyarakat paham tentang regulasi tersebut. Sebagai alternatif, pemerintah desa dapat melakukan workshop perawatan cagar budaya baik di lingkungan sendiri maupun di luar lingkungannya. Workshop juga perlu dilakukan dengan kunjungan ke lapangan tempat situs-situs cagar budaya.

Dari mengenal regulasi sampai praktik langsung ke obyek cagar budaya, secara psikologis akan dapat menumbuhkan kesadaran personal dari masyarakat akan pentinnya cagar budaya tersebut bagi hidup berkelanjutan. Kesadaran tersebut, juga akan mereduksi aksi vandalisme di bangunan cagar budaya. Sebagaimana banyak diketahui, bangunan cagar budaya yang jauh dari keramaian, seperti di daerah pelosok, kadang banyak tangan-tangan jahil tidak bertanggung jawab yang sengaja atau iseng membikian aksi vandalisme.

Dengan kesadaran personal masyakakat dibangkitkan, tentunya akan dapat menumbuhkan empati pada benda-benda cagar budaya tersebut untuk selalu dirawat dan dijaga jangan sampai rusak, karena identitas kulturalnya akan menjadi citra bangsa yang akan berlansung secara berkelanjutan.

 

(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kec. Mertoyudan, Kab. Magelang)

Editor Slamet Rohmadi

0 Komentar

Tambahkan Komentar