Tidak bisa dipungkiri gelombang informasi saat ini datangnya bagaikan air bah yang tidak bisa dibendung. Berbagai informasi bisa masuk kapan saja. Dunia tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Semua orang dengan gampang mendapatkan berbagai sumber informasi. Informasi tersebut tentunya sangat variatif. Ada yang positif juga tidak jarang yang negatif. Apabila informasi tersebut tidak difilter, tentunya akan menjadikan bangsa ini mengalami dekadensi moral.
Untuk mereduksi berbagai dampak dari era informasi yang berseliweran ini, seni pertunjukan wayang yang di dalamnya mengandung nilai-nilai humaniora tersebut dapat memediasi, menetralisir, juga menyeleksi gegap kultural yang bertebaran di dunia maya dilihat dari perspektif kebudayaan.
Yayasan Putro Ngudi Utomo Martowiyono Wanurejo Borobudur, telah memberikan kontribusi positif dalam bidang kebudayaan dengan menyelenggarakan pementasan wayang kulit mengambil cerita Parikesit Jumeneng Ratu (Parikesit Menjadi Raja) di Panggung Aksobya Borobudur (5/6/2024) dengan dalang Ki Radya Harsono dari Muntilan. Acara diselenggarakan dalam rangka memperingati ambalwarsa atau ulang tahun pendiri yayasan ke-108.
Pelajaran Hidup
Melalui pertunjukan wayang, sejatinya manusia dapat mengambil pelajaran hidup, karena dalam seni pertunjukan itu pada hakikatnya merupakan refleksi nilai pendidikan humaniora yang dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Dalam memberi kontribusi dalam pendidikan seni dan lingkungan, tidak berarti masyarakat dipaksa memahami suatu bentuk seni ataupun aliran seni. Namun yang lebih signifikan adalah bahwa nilai seni mampu menginspirasi masyarakat untuk menggerakkan daya rasional maupun daya emosionalnya sehingga mereka memiliki kualitas kecerdasan tinggi.
Wayang juga merupakan salah satu seni pertunjukan yang mengandung berbagai pesan pendidikan, baik dilihat dari wujud karakter tokoh-tokohnya, pertunjukan, maupun lakon-lakon yang disajikan. Kekuatan konvensional dalam wayang banyak memengaruhi kultur komunitas. Tidak sekadar lukisan yang digunakan sebagai ornamen dan kesenangan. Lebih jauh lagi wayang dapat menjadi pandangan hidup, keteladanan, dan harapan masyarakat.
Sebagaimana dalam cerita Parikesit Jumeneng Ratu banyak nilai-nilai moral yang dapat diambil di balik cerita yang sudah melegenda tersebut. Parikesit adalah sosok wayang putra Abimanyu dengan Dewi Utari. Ayahnya gugur dalam perang Bharatayudha sebagai senapati Pandawa. Pengangkatan Parikesit menjadi raja tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Diawali dari perjuangan ayahnya yang dengan susah payah mendapatkan Wahyu Cakraningrat, suatu simbol anugrah dari para dewata untuk menurunkan para raja (Purwadi, 2007).
Selama menjadi yuwaraja (putra mahkota) sudah banyak menjalani pendadaran yang cukup berat. Ia harus bisa berbaur dengan semua kalangan, termasuk rakyat jelata. Selain harus mumpuni belajar ilmu tata negara, harus mumpuni pula dalam belajar nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki seperti ilmu sangkan paraning dumadi atau asal muasal kehidupan.
Sangkan paraning dumadi dalam filosofi budaya Jawa merupakan ilmu yang mengajarkan bahwa tujuan akhir dari jentera kehidupan manusia di mayapada ini tak lain adalah Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, dalam menjalani kehidupan, manusia perlu mendekatkan diri pada nilai-nilai luhur ketuhanan. Nilai-nilai luhur ketuhanan itu antara lain adalah melakukan perbuatan jujur, adil, tanggung-jawab, peduli, sederhana, ramah, disiplin serta memiliki komitmen tinggi serta konsisten para prinsip yang diyakini.
Maka tidak mengherankan ketika dinobatkan menjadi raja, Parikesit menjadi pemimpin yang dapat mengayomi rakyatnya dan menjadi sumber pencerahan bagi semua pihak yang membutuhkan. Semua itu sebagai buah yang dipetik dari usaha kerasnya sebelum menjadi raja. Komitmennya tak lain adalah dekat dengan rakyat dan menerima aspirasi mereka tanpa membeda-bedakan stratifikasi sosial.
Dari pertunjukan wayang tersebut, di balik nilai tontonan atau estetika seni pertunjukannya seperti pengolahan tari, tata panggung, musik pengiring, sistem suara, sistem visual, dan sebagainya, juga terdapat nilai tuntunan yang mengandung pembelajaran moral seperti budi pekerti. Nilai budi pekerti dapat dimaknai sesuatu yang menjadi harapan, cita-cita, yang diyakini untuk dicapai oleh setiap manusia guna memiliki kepribadian baik dan berbudi luhur. Dalam kerangka mencapai ekspetasi itu, manusia memerlukan acuan di samping ajaran agama, masih diperlukan berbagai nilai keteladanan yang bersifat kultural.
Menanamkan kembali pelajaran budi pekerti melalui pertunjukan wayang merupakan upaya yang cerdas dan bermanfaat, karena di dalam wayang terdapat pendidikan karakter dengan sarana edukasi bersifat rekreatif simbolis, dapat menstimulasi dan memantik ranah imajinasi semua pihak mengenal lebih jauh serta agar lebih familiar dengan seni pertunjukan wayang.
Hal ini akan membuat semua orang lebih tertarik dengan mempermudah bahasa ungkapnya sehingga nilai-nilai dalam pertunjukan tersebut termasuk nilai kearifan lokal dapat tersampaikan yang pada gilirannya dapat menstimulasi elaborasi moral mereka. Terlebih lagi bagi anak-anak yang masih sekolah, nilai-nilai kearifan lokal tersebut sangat mereka butuhkan untuk dapat menetralisir dari gelombang informasi yang tidak proporsional dan pantas untuk dikonsumsi.
Nilai moral atau budi pekerti dalam wayang dapat diamati dari berbagai perspektif, baik itu alur ceritanya, pesan-pesan moral, dan berbagai karakterisasi yang ada di dalamnya. Seperti dalam cerita Parikesit Jumeneng Nata. Dapat diamati, alur ceritanya berupa alur progresif yang menandakan bahwa manusia harus optimis dalam menghadapi dinamika hidup. Pesan moral yang terkandung dalam cerita tersebut menegaskan bahwa menjadi pemimpin itu harus merakyat dan mengayomi rakyatnya tanpa tebang pilih. Sedangkan dalam karakterisasinya bisa dicermati bahwa sosok Parikesit adalah sosok bersahaja, sederhana yang dalam pola pikir dan pola tindakananya selalu mengedepankan nilai-nilai moral atau budi pekerti.
Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd., Guru Seni Budaya SMK Wiyasa Magelang
0 Komentar