PENDIDIKAN merupakan pintu masuk menuju perbaikan dan jalan menuju keberhasilan. Pendidikan formal tujuannya untuk membawa peserta didik supaya mampu memainkan peran sosialnya di kehidupan. Dengan sebaik-baiknya memerankan peran soaialnya, peserta didik mengaktualisasikan potensi dirinya, mencapai kepenuhan hidup, dan berbahagia sampai akhir hayat. Jadi, pendidikan formal itu dipandang sebagai upaya mengonstruksi perilaku individu untuk berkontribusi tingkat keberadaan masyarakatnya.
Antopolog AS Ruth Benedict (2008), menggambarkan opini di atas dengan menekankan pentingnya unsur budaya dalam proses pendidikan. Baginya, pendidikan merupakan relung yang baik untuk melestarikan nilai budaya. Karena ia meyakini, pada gilirannya pendidikan yang berkebudayaan tadi dapat menjamin terciptanya masyarakat yang lebih beradab. Jadi, melestarikan nilai budaya dalam pendidikan adalah keharusan sejarah.
Peran pendidikan untuk pelestarian nilai budaya akan semakin nyata manakala masyarakat mampu mengatasi berbagai persoalan yang timbul dengan mengandalkan perangkat pemikiran dan kebijakan yang diwariskan kepadanya. Paling tidak, warisan itu menginspirasinya untuk merumuskan jalan keluar terhadap setiap kebuntuan. Di sini kita melihat budaya itu bukan sekedar warisan mati tetapi adalah proses pembelajaran itu sendiri.
Upaya pemberadaban melalui proses pendidikan dapat berlangsung tatkala peserta didik menjadi pusat (student centered), karena dirinya yang unik, berkapasitas fisikal, emosional, spiritual, sekaligus misterius, atau karena dirinya sebagai potensi yang siap mengaktualisasi. Sifatnya yang individual dan multidimensi itu menjadikan setiap peserta didik pantas diabdi oleh setiap upaya pendidikan. Namun harus kita akui, proses pemberadaban melalui pendidikan ini semakin sulit dalam budaya teknis modern, di mana peserta didik dipandang hanya sebagai satu unit ekonomi atau bagian dari sistem produksi masal dan impersonal. Di dalam konteks ini, proses pendidikan menjadi sarana mekanistik, terstandarisasi, dan terkendali. Tujuannya supaya individu lulusan sekolah dapat secepat mungkin bersinergi dengan tatanan ekonomi. Payahnya lagi, ketika pendidikan juga menjadi instrumen ideologis dari kekuatan politik tertentu.
Manipulasi tersebut semakin nyata ketika pendidikan hanya memberi akses bagi yang mampu; dimanfaatkan sebagai sarana untuk menindas nilai budaya tertentu; digunakan untuk melegalkan segregasi berdasarkan agama, etinisitas, dan kepentingan ideologis tertentu; digunakan sebagai pembenaran terhadap ketidaksetaraan gender atau sebagai penyokong watak superior kelompok tertentu terhadap kelompok lain.
Pendidikan Humanistik
Hingar binger gagasan menganai praktik pendidikan yang kian prakmatis itu kian menggerus hakikat pendidikan sebagai upaya mengangkat harkat dan martabat manusia. Padahal, sejatinya pendidikan selalu berciri humanistik atau memiliki unsur humaniora yang artinya bertujuan menolong peserta didik agar menjadi lebih manusiawi. Maka tujuan utama pendidikan humanistik adalah melakukan pendekatan manusiawi untuk menolong peserta didik mengenal potensi diri, meningkatkan harga diri, mengasah kepedulian, dan menghormati orang lain. Pendidikan dengan pendekatan humanistik diniatkan untuk mendorong setiap peserta didik agar melahirkan rasa nyaman dengan diri sendiri, memiliki disiplin diri, dan mampu merefleksikan akibat dari setiap perbuatannya.
Pendidikan dengan pendekatan humanistik atau manusiawi menyiapkan kondisi dinamis yang dibutuhkan peserta didik untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar seprti membaca, menulis, dan menghitung. Ia juga menyiapkan kondisi yang menyanggupkan peserta didik untuk menyadari berbagai problem yang melingkupi hidupnya. Dengan kesadaran ini, bertumbuhlah motivasi untuk menjadi pemecah masalah seraya menjauhi tabiat buruk, mudah membeo, nekat tanpa perhitungan, bermental plintat-plintut, atau menjadi bagian dari persoalan.
Jadi pendidikan humanistik tidak semata berurusan dengan scientific weltanschaung, vokasionalisasi, atau spesifikasi yang berlebihan melainkan juga dengan pengalaman individual peserta didik (John Dewey, 2009). Ketika pengalaman individual peserta didik itu dikelola dengan baik atas terang nurani, peserta didik akan menjadi lebih spontan dalam upaya pencapaian kecerdasan intelektual, emosional, kinestetik, musik, dan lain-lain. Pendidikan yang mengandalkan pendekatan humanistik pasti mendorong peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam diskusi kelas, merangsang minat baca, mengasah kemampuan analisis, dan lebih dari itu peserta didik menjadi yakin bahwa pencapaian apa pun tak pernah bisa ditempuh melalui jalan pintas.
Pendidikan humanistik juga memberi kesempatan bagi peserta didik untuk tidak sekedar berpikir, melainkan berpikir dengan jernih (thinking clearly). Selain itu, pendekatan humanistik dalam proses pembelajaran memungkinkan tercptanya rasa kebersamaan yang tulus dan saling peduli di antara guru, peserta didik, dan orang tua. Semoga.
Penulis: P. Budi Winarto, S.Pd. Guru SMP Pendowo Ngablak Kabupaten Magelang.
0 Komentar