Pentingnya Membatasi Penggunaan Gadget dan Ruang Digital bagi Anak

Dilihat 165 kali

Saat ini perkembangan teknologi informasi dan ruang digital semakin pesat. Arus informasi begitu deras mengalir dalam kehidupan masyarakat Indonesia, tak terkecuali anak-anak. Untuk itu para orang tua perlu memiliki langkah bijak dalam menjaga buah hati melewati fase emasnya. Paparan arus informasi yang kini mengalir bak air bah bisa mengantar anak ke pelimbahan.


Berbagai literatur psikologi anak, di antaranya A to Z The Golden Age (MT. Indiarti 2017), menyebut usia 0-5 tahun sebagai masa pertumbuhan yang paling penting. Pada fase ini anak-anak dapat menangkap segala macam informasi dengan cepat. Meski belum tentu mengerti dengan segala yang didengar dan dilihatnya, seperti spons, mereka menyerap informasi dan selanjutnya menerjemahkannya melalui perilaku dan sikap. Perilaku meniru menunjukkan bahwa anak menangkap informasi yang diserapnya. Inilah yang seharusnya menjadi perhatian serius para orang tua.


Di luar orang tua, lingkungan sekolah, teman bermain, media dan media sosial di ruang digital menentukan arah perkembangan karakter anak. Pengaruhnya sangat tergantung pada sejauh mana tingkat interaksi anak dengan keempat faktor tersebut. Jadi memang benar, anak dibesarkan oleh upaya banyak pihak.


Belakangan ini peran media sosial patut dicermati dan diwaspadai lebih jauh. Semula media sosial tidak dikategorikan sebagai entitas terdekat anak. Tapi kini media sosial memainkan peran penting karena intensitas penggunaannya kian meluas.


Di Bawah Dua Tahun Dilarang Keras


Mengacu pada perkembangan psikomotorik anak, gadget sebenarnya hanya boleh digunakan oleh anak di atas dua tahun. Pasalnya, di bawah dua tahun, anak masih harus belajar meningkatkan kemampuan motorik dasarnya. 


Berjalan, berlari, naik tangga, bergulung, merangkak, menangkap bola, dan lain-lain. Secara alamiah, anak seusia itu dituntut aktif karena ia harus menguasai kemampuan motorik dasarnya. Bayangkan jika anak hanya duduk bermain gadget, pertumbuhannya pasti akan terhambat.


Sementara itu, balita usia 2-5 tahun boleh bermain gadget asalkan durasinya dibatasi, yaitu cukup 4 X 15 menit. Jadi dalam sehari si kecil hanya boleh bermain gadget satu jam. Setelah selang 15 menit bermain gadget, anak harus dibiarkan kembali beraktivitas yang lainnya.


Sedangkan untuk anak di atas enam tahun, waktu bermain gadget bisa lebih lama lagi, yaitu dua jam sehari. Dengan durasi yang relatif singkat ini, orang tua masih bisa membatasi atau mengontrol dampak dari muatan atau konten di media sosial dan gadget. Sebenarnya, pada usia di atas dua tahun pun dampak negatif paparan bermain gadget terhadap anak itu tetap ada. Tapi masih bisa diminimalisir.


Penelitian Kaiser Family Foundation (2020) mengenai dampak media sosial di ruang digital terhadap anak menunjukkan efektivitas pembatasan ini. Anak-anak yang orang tuanya berusaha untuk mengekang penggunaan media sosial dan gadget, biasanya lebih terhindar dari paparan buruk.


Jika tidak ditempuh upaya-upaya antisipatif untuk membatasi penggunaan gadget bagi anak-anak, maka akan berdampak negatif terhadap perkembangan karakter anak. Setidaknya ada tiga efek negatif kalau anak dibiarkan terus menerus menyerap informasi dari tayangan konten media sosial di ruang digital.


Pertama, perkembangan dan pertumbuhan fisiknya kurang terstimulasi. Sebab, koordinasi unsur-unsur sensorik-motoriknya berjalan kurang optimal. Akibatnya, menjelang masuk SD ia akan mengalami kesulitan belajar.


Kedua, terganggunya perkembangan kecerdasan anak. Ketika yang dilihat atau ditonton di ruang digital penuh dengan adegan-adegan agresif, anak akan menjadikannya sebagai referensi dalam berperilaku. Namun, hal ini juga tergantung dengan pilihan konten atau tontonannya. Jika konten yang ditonton anak di ruang digital memiliki pesan yang bagus, efeknya justru akan merangsang perkembangan otak anak.


Ketiga, pengaruh terhadap sisi sosial dan emosi anak. Anak akan cenderung lemas dan malas berjuang, kurang tangguh. Tontonan atau konten di ruang digital yang bersifat horor, agresif, dan pornografi membuat pelepasan emosi anak saat marah cenderung tak terkendali.


Anak-anak memang cenderung menirukan apa yang dilihatnya. Padahal dimensi kognitif anak di bawah tujuh tahun belum bisa membedakan antara fakta dan fiksi. Di sinilah bahayanya, sebab apabila tontonan atau konten di ruang digital memuat banyak adegan agresif, anak bisa tumbuh dengan toleransi yang tinggi terhadap kekerasan. Sebaliknya, empatinya terhadap korban kekerasan berkurang.


Orang Tua Juga Harus Belajar


Orang tua yang baik harus mampu mengendalikan aktivitas keseharian anak. Sejak dini orang tua mesti menyiapkan langkah antisipatif untuk si buah hati. Bukan justru bertindak reaktif ketika hal buruk sudah terlanjur menimpa anak.


Jika anak-anak mengucapkan kata-kata tidak pantas yang ditirunya dari media sosial, ruang digital, maupun lingkungan, orang tua wajib menjelaskan konteks pemakaian kata tersebut. Niat yang melatari pengucapannya pun dijelaskan kepada anak agar tidak terjadi kekeliruan persepsi.


Selain itu, ada teknik aksi-konsekuensi. Artinya, setiap kali anak mengucapkannya, ada konsekuensi yang terkait dengan kejadiannya langsung. Misalnya, anak menirukan adegan agresif dari sebuah tayangan di media sosial atau ruang digital, maka konsekuensinya, anak tidak boleh menonton lagi tayangan bersangkutan dan tidak boleh menggunakan gadget dalam jangka waktu tertentu.


Kuncinya, orang tua juga harus belajar dan mau berjuang untuk menjadi orang tua yang baik bagi anak-anaknya. 


Penulis: P. Budi Winarto, S.Pd. Guru SMP Pendowo Ngablak Kabupaten Magelang

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar