Pesona Batik Merambah Lintas Generasi

Dilihat 1440 kali
Proses pembuatan batik dibutuhkan ketelitian dan kesabaran yang menyatu dengan kepekaan jiwa maupun rasa pembuatnya agar hasilnya sesuai harapan.

BERITAMAGELANG.ID - Setiap tanggal 2 Oktober, bagi bangsa Indonesia merupakan hari yang cukup istimewa. Tanggal tersebut merupakan momentum agenda budaya yang sangat fenomenal. Sebagaimana diketahui publik, momentum tersebut menandai busana batik diakui sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO.


Sejak mendapat legitimasi dan rekognisi UNESCO sebagai warisan budaya tak benda  pada 2 Oktober 2009, ibaratnya Indonesia adalah identik dengan nuansa batik yang harmoni dengan kebhinekaan kulturalnya. Indonesia berpendar dengan nuansa batik sebagai penanda proses kreatif dari penciptanya yang tak pernah berhenti dimakan waktu.


Sampai saat ini, batik masih dianggap sebagai identitas budaya yang dapat mengakomodasi semua kalangan. Identitas budaya yang dihadirkan di ruang-ruang publik baik pada saat upacara protokoler atau acara lainnya dengan mengenakan pakain batik pada dasarnya merupakan gerakan kembali pada basis kultural.


Sebagai warisan budaya tak benda, pesona batik dengan segala estetikanya telah berhasil menunjukkan keunggulannya. Sebagai benda seni, batik telah sanggup meniti waktu dan menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Indonesia dengan segala dinamika yang menyertainya.


Batik bukan warisan budaya yang stagnan atau berhenti dalam elaborasinya. Dalam proses perjalanan waktu, batik selalu bertumbuh dan berkembang berjalan paralel dengan proses kreatif para pelaku atau perajinnya. Sampai saat ini batik telah mengalami inovasi dan kreativitas yang menjadikan batik tetap hidup, dicintai, dan dibanggakan semua kalangan serta telah merambah lintas generasi (Suara Merdeka, 2/10/2022).

 

Nilai Seni Tinggi


Batik yang telah survive sejak zaman Majapahit merupakan karya adiluhung atau bisa dikatakan nilai seninya tinggi. Eksistensi batik berangkat dari filosofis tradisi yang sering dipakai sebagai pakaian kebesaran para bangsawan ataupun para ksatria sebagai simbol status sosial. Dalam proses perkembangan selanjutnya baik corak maupun teknik pembuatannya telah menyebar di seluruh penjuru Nusantara.


Berdasarkan etimologinya, batik berasal dari istilah Jawa amba (menulis) dan titik (juga berarti titik dalam bahasa Indonesia). Gabungan kedua suku kata terakhir itulah yang membentuk kata batik dan kemudian diartikan sebagai menghamba titik. Memang titik merupakan desain dominan pada batik. 


Beberapa kota di Jawa berdasarkan catatan historis pernah dijadikan sebagai pusat batik, misalnya di daerah lingkup benteng keraton atau yang disebut Voonstenlanden. Wilayah ini terdapat di Solo dan Yogyakarta. Dahulu selain di lingkup keraton, tidak ditemukan batik. Dengan kata lain, batik tersebut memang dibuat hanya untuk konsumsi keluarga bangsawan saja, terutama dalam upacara adat, seperti perkawinan.


Batik dalam acara  tersebut memiliki corak dan jenis yang disesuaikan dengan pangkat, gelar, dan lainnya. Bahkan, pada masa kolonial Belanda pengaturan pemakaian batik itu diatur dengan besluiten (surat keputusan). Kain batik menjadi salah satu satu bagian dari pakaian resmi dan perlengkapan upacara kebesaran para bangsawan.


Selain itu juga dikisahkan sejarah pembatikan di Indonesia terkait dengan perkembangan kerajaan Majapahit, penyebaran agama Islam, serta perang Diponegoro. Sejak abad XII, pada masa kerajaan Majapahit, masyarakat Jawa telah mengenal batik. Seni batik berasal dari India, masuk ke tanah air bersamaan dengan  masuknya kebudayaan Hindu yang berhasil menurunkan silsilah Kerajaan Hindu di Nusantara.


Di sisi lain, penyebaran agama Islam juga turut mengontribusi perluasan penyebaran batik. Peristiwa itu dapat dilihat dari banyaknya pusat pembatikan di Jawa yang merupakan daerah santri. Malahan, batik menjadi alat perjuangan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedagang muslim untuk melawan hegemoni perekonomian Belanda.


Pada saat perang Diponegoro, banyak pengikut Diponegoro menyebar dalam pelarian karena kalah perang melawan Belanda. Sebutlah misalnya Kyai Mojo  yang mundur ke arah timur, yaitu di Desa Majan, Tulungagung yang sekarang menjadi sentra batik. Pembuatan batik di desa berstatus perdikan ini merupakan naluri peninggalan batik zaman Diponegoro (Majalah Gong, No.106/X/2009).

 

Akulturasi Budaya


Di samping itu, selain memiliki pesona estetika yang dapat dilihat dari perspektif visualnya, batik dapat juga dikatakan sebagai sarana akulturasi budaya. Dikatakan demikian karena batik dalam elaborasinya sampai sekarang ini telah mengalami banyak perubahan seiring dinamika perjalanan waktu.


Pada masa Hindu, batik cenderung diwarnai berbagai motif dan corak yang berhubungan dengan agama Hindu, seperti desain relief yang terdapat di candi-candi. Sedangkan ketika masa Islam masuk, batik juga ditandai dengan corak berbagai motif Islami, walaupun motif-motif dan corak-corak peninggalan Hindu masih ada sebagai kumulatif saja.


Demikian selanjutnya sampai sekarang batik diwarnai oleh berbagai macam budaya pada masa batik itu ada. Dari sehelai kain batik ternyata dapat tersirat beraneka makna dan nilai yang berguna bagi kehidupan manusia yang harus berbuat dan menyikapi kehidupannya agar tercipta  suatu harmoni dan kebahagiaan hidup. Sebagai misal motif kawung yang diungkapkan sebagai simbol keabadian. Motif parang rusak mempunyai makna menyingkirkan segala macam godaan yang akan merusak sendi-sendi kehidupan. Sebagai pakaian identitas suatu bangsa, kini batik tidak lagi bersifat kedaerahan, namun sudah mencerminkan identitas Nusantara.


Untuk itu, kiranya diseminasi pemakian batik perlu digencarkan terus menerus tanpa henti. Bukan hanya pada level wacana, namun harus sampai tataran praksis. Tentunya semua pihak perlu memberi teladan dengan selalu memakai pakaian batik pada acara tertentu sebagai wujud kebanggaan pada budaya nasional.


Dengan demikian, tema hari Batik Nasional tahun 2022 "Yang Terbaik Yang Terbatik" masih sangat relevan dipakai sebagai parameter untuk menjadikan batik sebagai citra pribadi yang selalu melekat bagi semua warga masyarakat. Apabila citra pribadi dan kecintaan kepada batik sudah terbangun sampai kedalamannya, nantinya akan melekat rasa bangga akan buatan produk Indonesia yang telah melintasi berbagai generasi tersebut.  

 

Selamat Hari Batik Nasional Tahun 2022.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)


Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar