Seni Pertunjukan Menginpirasi Karya Sastra

Dilihat 2783 kali
Novel berbasis seni tradisi

Eksistensi dan kehidupan seni pertunjukan tradisi dalam ranah publik semakin mendapat tempat. Hal itu terlihat dari lahirnya karya-karya sastra yang mengangkat kehidupan seni sebagai latar ataupun seniman sebagai tokoh sentralnya. Meski kebesaran dan kejayaan genre sastra seperti ini telah lama berlalu, ia tetap survive dan penting untuk dikaji ulang sebagai karya yang fenomenal.


Adapun mata rantai yang saling berpaut antara seni pertunjukan tradisi dengan sastra bisa mengantarkan kita pada suatu wacana yang menarik. Korelasi keduanya muncul lebih dari satu dekade yang lalu, ketika lahirnya novel trilogi Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), dan Jantera Bianglala (1986).


Novel tersebut mengisahkan tokoh Srintil, seorang penari Ronggeng dengan kelompok musik pengiringnya. Kehidupan seniman dalam novel itu dibingkai dalam konteks pergolakan negara dengan aktivitas partai politik. Potret ritual, berkesenian, kemisikinan, kekuasaan, partai politik, dan negara dirajut secara lengkap.


Ada lagi Oka Rusmini dengan novelnya Tarian Bumi (Gramedia, 2007). Tak dilupakan karya lama NH Dini, Pada Sebuah Kapal (Gramedia, 2003) yang bercerita tentang perjalanan hidup bekas seorang penari. Ini sekadar untuk menyebut beberapanya saja. Karya Ahmad Tohari dan belakangan Oka Rusmini, bisa saja menjadi contoh terbaik bagaimana tema bisa digarap secara kuat, bertenaga, maupun berjiwa dalam sebuah novel.


Novel-novel di atas merupakan sebagian dari beberapa kompilasi novel Indonesia yang mengambil kehidupan seni tradisi sebagai latarnya dan seniman atau tokohnya sebagai figur sentral. 


Sumber penciptaan


Pada dasarnya seni pertunjukan tradisi adalah sumber yang tak pernah kering bagi penuangan karya sastra. Sumber penciptaan itu bisa berada di lingkungan mikro maupun makro, terlepas dia itu seniman atau tidak. Seni tradisi yang diangkat menjadi karya sastra, dimungkinkan bisa menjadi indikasi bahwa sastrawan Indonesia memang sangat kuat pertautannya dengan tradisi atau lebih mikro lagi daerah tempatnya berasal (Majalah Gong, 2004).

 

Karena pijakannya pada tradisi, maka karya seperti itu ditulis berdasar pada pengalamannya masa kecil. Seperti halnya Oka Rusmini penulis Novel Tarian Bumi ini. Oka Rusmini lahir, tumbuh, dan hingga sekarang bermukim di Pulau Dewata. Novelnya yang berlatar belakang Pulau Bali itu, banyak memuat pengetahuan dan informasi tentang kehidupan komunitas baik dari sisi sosial maupun budaya tanah leluhurnya.

 

Novel karya Oka Rusmini Tarian Bumi tersebut, bukan saja eksotis dinikmati sebagai karya sastra, melainkan pula mampu memberikan pencerahan dari banyak perspektif baik dalam memberikan pemahaman esensial juga kesalehan spiritual komunitas kultural Bali. Kehadiran novel ini benar-benar sangat fenomenal bagi karakter local genius atau pencipta kebudayaan pribumi Sastra Modern Indonesia mutakhir.


Pengalaman masa kecil juga mengilhami Ahmad Tohari dalam trilogi karya sastranya. Semasa kecil ia sering keluar rumah. Di sini ia banyak bergaul bersama-sama temannya di padang penggembalaan yang asri di desanya. Di situlah ia mengaku mengenal tradisi dan nyanyian Ronggeng yang menginspirasi penulisan novelnya.


Kekuatan sastra


Merujuk pengalaman penulis novel pada saat mencari inspirasi untuk penulisan karya novelnya, pada dasarnya  kemampuan seni tradisi untuk menjadi media pembelajaran pemahaman antar budaya dapat direalisasikan melalui kekuatan sastra. Dalam bahasa lain, terdapat unsur etnografis di dalam-karya-karya seperti ini. Unsur etnografi  menyelinap dan terjalin halus di dalam teks karya sastra tersebut. 


Pada saat pembaca menyimak, tanpa terasa telah menjadi sedikit tahu unsur-unsur etnografi dari daerah yang menjadi makna dari karya sastra yang dibacanya. Informasi etnografi yang terjalin dapat menjadi nilai lebih sebagai daya pikat dalam suatu teks cerita yang membuatnya gampang dicerna.


Karya sastra yang mengangkat seni sebagai latar atau seniman sebagai tokohnya, bukan sekadar terletak pada seni tradisi itu sendiri, tetapi juga tergantung pada piawainya sastrawan tadi mengolah dalam narasi yang menarik. Jika teknis pengolahan imajinasinya kuat dia akan punya surprise terhapap pembaca. Kalau sudah seperti itu, karya tersebut akan mengantar pembaca untuk menikmati informasinya.


Dengan kemampuan pengolahan alur naratif, bisa merangsang pembaca untuk terus tergelitik dalam mencari substansi cerita. Kiat ini bisa jadi dinamakan visi, yaitu upaya memberikan kedekatan emosional pada realitas komunitasnya. Di sisi lain, karya sastra apapun bentuknya bisa membuka perspektif lebih luas dari sekadar informasi ataupun pesan yang akan disampaikan. Seni Tradisi yang menjadi pijakan karya sastra bisa dimungkinkan dapat menempati ranah multi disiplin terutama dalam pola aktualisasi kehidupan masyarakatnya.


(Penulis: Drs. Ch. Dwi Anugrah, M.Pd., Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro Mertoyudan, Kabupaten Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar