Tradisi Budaya Mudik

Dilihat 5827 kali
Menjelang mudik lebaran, ruas-ruas jalan dipadati oleh banyaknya kendararaan yang menuntut konsentrasi dan kehati-hatian para pengendara agar selamat sampai tujuan.

Momentum rutin setiap tahun yang sudah menjadi tradisi menjelang hari raya Idul Fitri, mayoritas masyarakat Indonesia yang tinggal di kota-kota besar akan kembali menuju kampung halaman masing-masing. Seiring berakhirnya Ramadan, mereka yang sedang berada di daerah perantauan biasanya mulai disibukkan berbagai persiapan untuk mudik lebaran ke kampung halaman. Sebuah tradisi yang begitu mengakar di masyarakat. Tradisi budaya mudik Idul Fitri sudah menjadi ritual tahunan yang dilakukan umat Islam di seluruh Nusantara.


Tradisi mudik lebaran telah menjadi ritual bagi umat muslim, tidak peduli ia berasal dari golongan kaya atau miskin. Berbagai motivasi turut menyertai peserta mudik lebaran, seperti rindu kampung halaman, sungkem kepada orang tua, silaturahmi dengan sanak saudara, dan berbagi kebahagiaan dengan sesama. Fenomena metafisik tersirat dalam tradisi ini, bahwa seberapa pun jauhnya merantau, pada akhirnya seseorang akan kembali ke asalnya. Pepatah mengatakan, setinggi-tinggi bangau terbang, ia akan kembali ke sangkarnya.


Di dalamnya terdapat suatu makna bersilaturahmi guna mempererat ikatan dengan kampung halaman, sungkem pada orang tua, bertemu dengan para kerabat dan berbagi kebahagiaan dengan sesama. Mudik dapat dipandang sebagai bentuk kearifan lokal yang tidak peduli ia berasal dari golongan apa. Andre Moller dalam buku Ramadan di Jawa (2002) mengomentari tradisi mudik sebagai fenomena khas dan unik yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia untuk menyambut datangnya hari raya Idul Fitri.

 

Kebutuhan Psikologis


Mudik adalah tradisi atau budaya yang menyertai Idul Fitri. Mudik sebenarnya adalah bentuk kebutuhan psikologis. Dimana timbulnya dorongan keinginan dan kerinduan yang kuat untuk pulang menapak tilas tempat lahir dan tempat yang menyimpan memori dan masa tumbuh kembang sebagai anak-anak hingga dewasa. Ini merupakan kerinduan psikologis-primordial. Di Indonesia, momentum lebaran dan mudik didukung oleh pembenaran teologis untuk menyampaikan bakti dan permohonan maaf kepada handai tolan, khususnya orang tua.


Mudik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata udik yang mengandung makna dusun, desa atau kampung (lawan dari kota). Dalam pengertian lebih luas, mudik bermakna mereguk kembali semangat udik (kampung) yang identik dengan gotong royong, kesetiakawanan, kebersahajaan, dan persaudaraan untuk dibawa lagi bila para pemudik balik ke komunitas di mana mereka tinggal.


Fenomena mudik ini juga menunjukkan bahwa hubungan emosional masyarakat dengan tempat kelahiran masih sangat kuat, tidak pernah terkikis oleh perjalanan waktu. Ini fenomena antropologis universal. Punya aspek psikologis. Semua agama dan bangsa punya event tertentu untuk saling bertemu. Setiap agama, bangsa, dan agama punya event seperti itu. Orang Amerika, misalnya mengenal Thanksgiving Day, hari pengucapan syukur yang dilakoni dengan gathering (pertemuan). Demikian pula komunitas Tionghoa, berkumpul melalui Imlek. Namun, tradisi ini tidak didasari oleh hubungan emosional yang kuat seperti masyarakat kita.


Fenomena mudik masyarakat Indonesia lebih didasari oleh karakter sosial inwardlooking (melihat ke dalam) yang sangat kuat. Implikasinya tidak lain adalah karakter sosial yang cenderung menengok ke belakang, memandang masa lampau, dan menatap dengan kuat sampai kedalamannya mengingat kejayaan yang dilakukan oleh para pendahulunya.


Peristiwa Budaya


Pada tahun ini pemerintah memberikan sinyal akan mengizinkan masyarakat perantau untuk mudik lebaran. Syaratnya, sudah menjalani vaksinasi sampai tahap ketiga (booster) dan tetap menerapkan protokol kesetahatan ketat. Tentunya sinyal tersebut disambut dengan antusias, karena hampir tiga tahun ini para perantau tidak bisa mudik karena pandemi Covid-19 (Kedaulatan Rakyat, Maret 2022).


Bagi masyarakat perantau, mudik di saat lebaran bukan hanya sekadar pulang kampung. Mudik  merupakan peristiwa budaya juga kewajiban sosial yang perlu dilakukan terhadap keluarga, saudara, juga tetangga. Keterikatan sosial tersebut merupakan rangkaian peristiwa budaya yang sampai saat ini masih mentradisi pada semua lapisan  masyarakat.


Beratnya tantangan yang dihadapi para pemudik, tidak pernah menyurutkan niat dan kemauan mudik ke kampung halaman. Paling tidak ada lima alasan yang menjadi tujuan para pemudik pulang kampung.


Pertama, dorongan keagamaan yang telah menjadi budaya. Begitu kuat tarikan keagamaan yang telah menjadi budaya, karena peristiwa idul fitri dengan saling memaafkan dapat terajut dengan sempurna apabila mereka bisa bertemu dengan bersilaturahmi secara langsung.  


Kedua, ziarah ke kubur. Telah menjadi budaya di kalangan masyarakat bahwa menjelang puasa Ramadan dan Idul Fitri, anak-anak, menantu, keluarga dan famili pergi berziarah ke kubur orang tua, kakek, nenek dan leluhur serta keluarga terdekat sambil mendoakan. Momentum tersebut dapat dilakukan apabila mereka mudik ke kampung halaman. 


Ketiga, rindu kampung halaman. Setiap tahun kerinduan kepada kampung halaman selalu diobati dengan mudik. Ini adalah fenomena sosial yang menarik sebagai makhluk sosial, rindu kepada asal usulnya di kampung halaman. Oleh karena itu, tantangan berat yang dihadapi untuk pulang kampung, tidak menjadi persoalan, mereka tetap melakoni dengan penuh kegembiraan dan kebahagiaan.


Harapan lebih jauh momentum mudik tahun ini dapat dimaknai secara positif. Di samping melepas kerinduan kepada kampung halaman, masyarakat tetap konsisten dan tidak ada keterpaksaan untuk menaati protokol kesehatan demi kenyamanan bersama. Tentunya kita tidak mengharapkan mudik hanya sebatas euforia yang menimbulkan dampak ikutan, seperti melonjaknya klaster baru Covid-19 yang sangat merugikan semua pihak.


(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar