BERITAMAGELANG.ID - Komisi X DPR RI melakukan kunjungan kerja ke kantor Pemerintah Kabupaten Magelang, Kamis (27/11). Kunjungan ini untuk menghimpun data, aspirasi, serta mengevaluasi berbagai persoalan yang berkaitan dengan pelestarian cagar budaya. Kegiatan ini menjadi ruang dialog antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan para pemangku kepentingan kebudayaan mengenai tantangan maupun peluang pelestarian warisan budaya di Kabupaten Magelang, khususnya kawasan Borobudur.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Esti Wijayati, dalam sambutannya menegaskan, ia memiliki mandat untuk mengawasi kebijakan pemerintah di bidang kebudayaan, termasuk pelestarian cagar budaya. Menurutnya, banyak persoalan di lapangan disebabkan oleh tumpang tindih regulasi antara pemerintah pusat dan daerah.
"Kami fokus pada keterpaduan dan sinkronisasi regulasi. Banyak kawasan cagar budaya tidak berada di bawah satu lembaga sehingga pengawasan menjadi tidak optimal. Kami menelusuri pola pengelolaan cagar budaya, mulai dari peran pemerintah, swasta, masyarakat, hingga persoalan kepemilikan," jelas Esti.
Ia menambahkan, temuan dan masukan dari daerah akan menjadi pertimbangan dalam perumusan kebijakan nasional, termasuk Panitia Kerja (Panja) Kebudayaan.
"Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya masih menghadapi banyak kendala dalam implementasinya. Belum semua regulasi sektoral harmonis mulai dari UU Pemajuan Kebudayaan, Pariwisata, Penataan Ruang, Pemerintahan Daerah hingga Lingkungan Hidup. Koreksi dan penyelarasan diperlukan agar pelestarian bisa berjalan efektif," kata Esti.
Esti juga menyinggung kompleksitas pengelolaan Candi Borobudur, yang berada di bawah beberapa institusi sekaligus, mulai dari Kementerian Kebudayaan, hingga PT Taman Wisata Candi Borobudur. Menurutnya, kondisi tersebut membutuhkan tata kelola yang lebih harmonis dan pendanaan berlapis agar kegiatan konservasi berjalan optimal.
Bupati Magelang, Grengseng Pamuji menyampaikan apresiasi kepada Komisi X DPR RI yang telah memilih Kabupaten Magelang sebagai lokasi kunjungan. Ia berharap momentum ini dapat membuka ruang baru bagi percepatan pelestarian budaya dan penguatan sektor ekonomi berbasis budaya di daerah.
"Candi Borobudur adalah warisan budaya dunia sekaligus potensi strategis bagi daerah kami. Hampir semua desa di Kabupaten Magelang memiliki kelompok seni dan tradisi lokal yang masih lestari, namun pendataan kami memang belum maksimal. Kami berharap Komisi X bisa membawa aspirasi ini ke pemerintah pusat," ujar Grengseng.
Ia mengungkapkan, sebagian masyarakat luar daerah masih mengira Borobudur berada di Yogyakarta. Hal ini terjadi karena akses dan fasilitas pariwisata lebih banyak terpusat di DIY. Untuk itu, Kabupaten Magelang berharap ada kolaborasi antarwilayah agar dampak ekonomi lebih optimal.
"Kunjungan harian ke Borobudur yang sebelumnya dibatasi 1.200 orang kini dinaikkan menjadi 4.000 pengunjung. Semestinya kebijakan ini memberi dampak besar bagi ekonomi masyarakat. Namun masih banyak warga Magelang sendiri yang belum pernah masuk Borobudur. Ini menjadi tantangan bersama," kata Grengseng.
Terkait pelestarian cagar budaya, Pemkab Magelang telah menerbitkan Perda Nomor 19 Tahun 2017 tentang Penetapan dan Pemanfaatan Cagar Budaya. Dari 2015 hingga 2020, sebanyak 91 objek telah ditetapkan sebagai bangunan atau struktur cagar budaya. Pemerintah daerah juga memiliki Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) dan Kelompok Ahli Pelestarian resmi dari berbagai disiplin ilmu.
Namun, Grengseng tidak menutup mata bahwa tantangan tetap besar terkait anggaran untuk perawatan situs serta persoalan regenerasi seniman dan budayawan. Perlu ada penguatan dari pemerintah pusat agar pelestarian budaya berjalan berkelanjutan.
Kepala Badan Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah X Jateng-DIY, Manggar Sari Yuati menjelaskan, pihaknya rutin mengadakan koordinasi teknis dengan dinas-dinas daerah untuk menentukan program bersama terkait pelestarian cagar budaya. Saat ini BPK Wilayah X mencatat total 1.608 situs cagar budaya, termasuk yang berstatus nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
"Kami melakukan sinergi dalam pameran, proses penetapan cagar budaya, pendampingan revitalisasi, hingga kajian teknis. Bila ada temuan baru, tim analisis akan menilai apakah memenuhi kriteria. Jika masuk kategori cagar budaya, negara akan memberi kompensasi bagi penemu," jelas Manggar.
Ia menyebut persoalan regulasi masih menjadi pekerjaan rumah terbesar, terutama terkait mekanisme insentif bagi pemilik cagar budaya.
UU Nomor 11 Tahun 2010 menyebutkan bahwa pemilik berhak mendapat insentif. Namun aturan turunannya belum harmonis sehingga implementasinya tidak jelas. Sementara itu, pemilik tetap harus menanggung biaya perawatan bangunan bersejarah.
"Ketidakjelasan ini membuat pelestarian tidak berjalan optimal," ungkapnya.
Terkait Borobudur, BPK Wilayah X hanya terlibat dalam pengelolaan Zona 3, terutama dalam aspek perlindungan bangunan di sekitar kawasan. Tantangan lain adalah koordinasi perizinan pemanfaatan ruang di area sekitar candi.
Terkait kunjungan ini, DPR RI menegaskan komitmen untuk menjadikan masukan dari daerah sebagai bahan penyempurnaan kebijakan nasional. Harmonisasi aturan lintas sektor menjadi kunci agar warisan budaya seperti Borobudur dapat dikelola secara efektif, berkelanjutan, dan membawa manfaat bagi masyarakat lokal.

0 Komentar