BERITAMAGELANG.ID - Perubahan gaya hidup masyarakat menyebabkan tren jumlah penderita diabetes meningkat setiap tahun. Diabetes salah satu pemicu komplikasi penyakit kronis.
Pada 2021 jumlah penderita diabetes di Indonesia mencapai 19,47 juta orang. Jumlah itu diperkirakan naik menjadi 20,4 juta jiwa pada 2024.
Masyarakat urban cenderung mengonsumsi makanan dan minuman tinggi gula serta lemak. Mereka juga menjalani pola hidup sedentari atau gaya hidup kurang gerak atau aktivitas fisik.
Terus meningkatnya jumlah kasus diabetes karena rendahnya deteksi dini. Diperkirakan sekitar 70 persen penderita diabetes di Indonesia belum terdiagnosis.
Dari kelompok yang sudah diketahui kondisinya, hanya 2/3 yang menjalani pengobatan. Dari angka tersebut hanya sepertiga jumlah pasien diabetes yang berhasil mencapai kondisi terkontrol.
Padahal diabetes meningkatkan risiko komplikasi berat seperti penyakit jantung, gagal ginjal, stroke, hingga penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Komplikasi kronis tidak hanya mengancam kualitas hidup pasien, juga menambah beban biaya kesehatan nasional.
Upaya mengurangi jumlah kasus diabetes sebagai salah satu pemicu penyakit kronis, antara lain melalui edukasi kesehatan masyarakat. Sosialisasi pembatasan konsumsi gula serta pemilihan makanan dengan indeks glikemik rendah.
Edukasi Penyakit Kronis
Dalam rangka sosialisasi pencegahan penyakit kronis, Puskesmas Grabag 1 menghadirkan dokter spesialis paru RSU Syubbanul Wathon Tegalrejo, dr Colin Fern Simbolon, Sp.P.
Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis) saat ini masih jarang dilakukan oleh fasilitas pelayanan kesehatan tingkat primer. Edukasi di Puskesmas Grbag 1 berlangsung 3-4 Desember 2025 dengan sasaran 45 pasien hipertensi dan 64 pasien diabetes melitus.
Kepala Puskesmas Grabag 1, drg Rury Suryani, menjelaskan kehadiran dokter spesialis merupakan inisiatif untuk memperkuat penanganan penyakit kronis di wilayahnya.
"Prolanis dirancang untuk meningkatkan kualitas hidup pasien kronis. Mereka perlu memahami penyakit, cara mengelola, dan pentingnya gaya hidup sehat. Menghadirkan dokter spesialis paru adalah langkah tepat agar edukasi yang diterima lebih komprehensif dan langsung dari ahlinya," kata drg Rury.
Selama ini Prolanis umumnya ditangani oleh dokter umum dan tenaga kesehatan Puskesmas. Kolaborasi dengan dokter spesialis menjadi nilai tambah bagi pasien, terutama memberi pemahaman soal komorbiditas penyakit paru dengan penyakit non-infeksi kronis seperti hipertensi dan diabetes.
Dokter Spesialis Paru RSU Syubbanul Wathon Tegalrejo, dr Colin Fern Simbolon, Sp.P menjelaskan definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), serta faktor risiko, patofisiologi, dan cara mendiagnosis.
Menurut dr Colin, ada hubungan erat antara hipertensi, diabetes, dan PPOK.
"Hipertensi dan diabetes sering muncul sebagai komorbid pada pasien PPOK. Peradangan kronis dan kerusakan pembuluh darah berperan besar," kata dr Colin.
Penyakit Paru Obstruktif Kronik, kata dr Colin, juga kerap memicu hipertensi pulmonal yang memperburuk sesak napas serta menurunkan kualitas dan harapan hidup pasien.
"Kadar gula yang tinggi dalam jangka panjang menyebabkan peradangan dan perubahan pada pembuluh darah paru. Ini membuat fungsi paru semakin berat dan gejala PPOK semakin parah," katanya.
Inisiatif menghadirkan dokter spesialis pada sosialisasi Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis) diharapkan menjadi model penguatan layanan penyakit kronis di tingkat Puskesmas.
0 Komentar