Kekhasan Makanan Masa Mataram Kuno

Dilihat 3468 kali
Klaka wagalan atau ikan bumbu kuah kuning merupakan makanan spesifik sejak zaman Kerajaan Mataram Kuno. Akurasi data makanan ini termuat dalam Prasasti Watukura (902 M) - Foto: Freepik.com

Seringkali setiap menikmati makanan atau kudapan dalam berbagai event pesta, yang bernuansa tradional, seperti lalapan, dendeng, telur asin, dan sebagainya para tamu secara tidak sengaja saling menanyakan, sejak kapan makanan yang disantap ini pertama kali ada. Fenomena tersebut menarik untuk dapat dijadikan sebagai bahan dialektika. Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya, kiranya perlu juga memahami dan menelisik keberadaan makanan tradisional yang sampai sekarang masih bisa dinikmati tersebut.


Sebagaimana diketahui, makanan dan minuman jika dilihat dari aspek pembuatannya, merupakan resultansi dari proses kreatif manusia guna memenuhi kebutuhan pokok. Oleh karena itu dapat diklasifikasikan sebagai hasil budaya. Fenomena tersebut tentunya tidak bisa dipisahkan dengan komunitas pendukungnya. Dinamika kebudayaan yang tumbuh berkembang di lingkungan masyarakat sudah dipastikan saling berkelindan satu dengan lainnya.


Di samping itu juga diyakini, bahwa kebudayaan dalam dinamika perjalanan waktu dipastikan mengalami perkembangan. Oleh karena itu, makanan dan minuman sebagai hasil kebudayaan juga akan mengalami perkembangan baik dalam dimensi waktu maupun ruang. Makanan selain berfungsi utama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari juga dapat berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan ritual tertentu. Sampai saat ini, beberapa makanan khas seperti nasi gurih, peyek, teri, ayam kampung, banyak digunakan untuk upacara ritual tertentu seperti tradisi wiwitan (awal bercocok tanam padi).


Jenis makanan dan minuman tradisional yang dijumpai sekarang ini beberapa di antaranya masih dapat dirunut ke belakang, yaitu pada masa kebudayaan Nusantara berada dalam tataran budaya Hindu atau Buddha. Pada masa feodal tersebut, tentunya makanan dan minuman dapat dijadikan sebagai simbol dan stratifikasi sosial yang berlaku di masyarakat selaras dengan pola normatif kehidupan dalam bingkai kerajaan klasik di Nusantara dengan istana sebagai pusat kebudayaan.

 

Tanah Sima


Para bangsawan masa kerajaan Mataram Kuno banyak melakukan berbagai upacara kenegaraan sebagai legitimasi dari kekuasaaan. Raja Balitung dan beberapa raja sesudahnya banyak mengeluarkan prasasti tentang penetapan suatu wilayah atau tanah sima. Apabila dikaji secara lebih akuratif, tanah sima atau lahan perdikan merupakan wilayah berupa sebidang tanah produktif baik sawah, kebun, bahkan desa dengan status bebas pajak yang dihadiahkan oleh raja kepada warga wilayah tersebut. Di dalam prasasti itu dijumpai keterangan tentang jenis-jenis makanan yang disajikan pada waktu upacara penetapan sima.  


Dalam prasasti Mantyasih yang berasal sekitar tahun 829 Saka (907 M) disebutkan banyak jenis makanan yang menjadi menu utama, seperti hadangan (daging kerbau), kidang (daging kijang), wedhus (daging kambing), deng hasin (dendeng asin). Di antara jenis nasi yang disebut dalam beberapa prasasti ada yang menyebut skul paripurna. Kata skul masih dipakai sampai sekarang sebagai bentuk bahasa Jawa krama dari kata sega (nasi).


Kemungkinan besar yang dimaksud sebagai skul paripurna adalah nasi lengkap dengan segenap lauk dan sayur. Mengingat bahwa jenis makanan tersebut disajikan dalam rangkaian upacara penetapan sima, maka skul paripurna dapat diterjemahkan sebagai salah satu tumpeng lengkap. Dalam prasasti tersebut juga dikenal istihal irusan, berasal dari kata irus yang masa sekarang merupakan alat dapur tradisional seperti sendok besar dari bahan tempurung kelapa. Biasanya digunakan untuk mengambil sayur. Ada pula kata sangsangan yang mengingatkan kita pada teknik menggoreng tanpa minyak atau yang dikenal dengan goreng sangan (Timbul Haryono, 2002).


Dalam Prasasti Watukura (902 M) disebutkan, terdapat makanan spesifik klaka wagalan disebut juga dengan ikan bumbu kuah kuning. Makanan ini menggunakan bahan utama ikan beong, yaitu ikan yang hidup di aliran sungai dekat Candi Borobudur. Bumbu dan rempah yang digunakan untuk membuat klaka wagalan seperti bawang putih, bawang merah, garam, lengkuas, jahe, daun salam, lada, dan daun jeruk purut.


Pemanfaatan Lingkungan


Pada umumnya masyarakat zaman Matarum Kuno memenuhi kebutuhan makanannya dari sumber hayati dan nabati. Kekhasan dari makanan yang dikonsumsi dilakukan dengan cara mengoptimalkan pemanfaatan lingungan alam secara bijaksana tanpa mengakibatakan kerusakan. Hal tersebut menandakan, bahwa kesadaran komunitas sangat tinggi untuk menjaga lingkungan tetap terjaga kondisi orisinalitasnya.


Sebagian besar atau semua aneka makanan kuliner sejak masa Mataram Kuno menggunakan bahan bahan alami lokal, sehingga penggalakan penggunaan kuliner alami Jawa akan meningkatkan pemanfaatan bahan alam lokal, bukan tergantung bahan impor. Hal ini akan membantu meningkatkan ketahanan pangan dan budaya lokal.


Pada dasarnya makanan yang sudah dikonsumsi sejak berabab-abad lampau tersebut mempunyai beberapa dimensi perilaku, yakni aspek pembuatan atau pengolahan makanan, aspek pemanfaatan dan fungsi makanan, serta aspek deposisi untuk ditinggalkan dan diwariskan bagi generasi berikutnya. Beberapa aspek tersebut dapat menjadi rujukan untuk generasi saat ini atau generasi Z agar tetap mengoptimalkan pengolahan makanan bersumber pada nilai kearifan lokal.


Mengamati dari berbagai makanan tradisional di penjuru Nusantara yang sudah mengalami perjalanan panjang, kiranya dapat menjadi bahan refleksi bersama untuk memberikan ruang hidup kuliner Nusantara ini. Dalam berbagai event, tentunya perlu menjadi bahan perhatian bersama agar nilai dari makanan tradisional dapat menjadi spirit bersama dengan ekspetasi tetap eksis dan menginspirasi semua pihak untuk menjadikan makanan tradisional ini menjadi menu spesifik Nusantara.  



(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Desa Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar