BERITAMAGELANG.ID - Pondok Pesantren At Tauhid Al Islamy, Kapuhan Sawangan, menggelar Festival Rebana Klasik, Senin (23/6/2025). Sekaligus rangkaian acara Khataman Santri dan Haul Pendiri.
Pengasuh Pondok Pesantren At Tauhid Al Islamy, KH Muh Bahin mengatakan, Festival Rebana Klasik sesuai dengan tema "Melestarikan Tradisi, Mengukir Harmoni Islamâ.
Kesenian rebana menjadi salah satu tradisi Islam yang masih banyak digelar di desa-desa Kabupaten Magelang. Puluhan kelompok rebana tercatat eksis memeriahkan berbagai acara hari besar Islam di Kecamatan Sawangan.
"Sesuai temanya untuk merawat tradisi dan harmoni. Rebana sebagai kesenian Islami harus terus dipelihara untuk mempertahankan tradisi," kata KH Muh Bahin.
Kesenian rebana memiliki keterikatan kuat dengan penyebaran agama Islam di Nusantara. Sunan Kalijaga disebut-sebut sebagai salah satu wali yang menyebarkan kesenian ini.
Menurut KH Muh Bahin, kesenian rebana dapat menjadi sarana dakwah Islam terutama kepada anak muda. Jenis rebana klasik dipilih karena masih mempertahankan keaslian tradisi Islam yang santun.
"Seni Islami sekarang sudah berkembang. Menurut pandangan kami termasuk media efektif untuk mengenalkan Islam lewat seni. Kami memilih yang klasik karena insyaa Allah lebih santun dan lebih bisa melestarikan tradisi," ujarnya.
Ketua Panitia Festival Rebana Klasik, Hilman menyebutkan festival kali ini menampilkan dua gaya rebana: Banjari dan Habsyi. Keduanya termasuk gaya kesenian rebana yang pertama-tama muncul dan populer di Nusantara.
"Festival Rebana Klasik kali ini menampilkan gaya Habsyi maupun Banjari. Hanya memakai tifa (darbuka), tam, dan terbang (rebana). Tidak menggunakan organ maupun gitar," ujar Hilman.
Menurut Hilman, rebana klasik lebih menonjolkan budaya Islam yang tradisional.
"Tradisi rebana aslinya tidak hilang. Kalau sudah modern bisa di-cover dangdut atau apa, jadi nilai ke-Islamannya berkurang," lanjutnya.
Kesenian rebana pertama kali dikenal pada abad ke-6 Masehi, saat Nabi Muhammad SAW hijrah dari Makkah ke Madinah. Saat tiba di Madinah warga kota menyambut Nabi dengan rebana sambil bersyair.
Perkembangan musik rebana di Nusantara terkait erat dengan Sunan Kalijaga yang dikenal sebagai pelopor dakwah melalui seni. Warisan dakwah itu kemudian dilanjutkan oleh sejumlah tokoh-tokoh penyebar agama Islam.
"Kami mencoba tidak mengubah hal yang kiranya sudah bagus. Yang sudah bagus itu kiranya jangan diubah-ubah, yang justru malah keluar dari adab atau warisan Islam," ujar Hilman.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa gaya rebana Banjari berasal dari majelisan atau perkumpulan pembacaan kitab dan selawat yang dipimpin oleh Muhammad Zaini Abdul Ghani atau Tuan Guru Sekumpul, Martapura, Banjarmasin.
Pembacaan selawat yang dipimpin Tuan Guru Sekumpul diiringi hadrah yang kemudian dikenal sebagai rebana gaya Banjari.
Sumber lain menyebutkan, rebana gaya Banjari dikenal dari Tapaan, Pasuruan, Jawa Timur, melalui tokoh KH Chumaidi Abdul Majid. Para santri KH Chumaidi ditugaskan mengajar dan menyebarkan hadrah tersebut, khususnya di wilayah Jawa.
Sedangkan gaya rebana (hadrah) Habsyi diperkenalkan oleh Habib Ali Muhammad bin Husein Al-Habsyi pada abad ke-13 Masehi. Habib Ali menggunakan rebana dalam misi dakwahnya menyebarkan agama Islam.
Dalam menyebarkan agama Islam, Habib Ali juga menulis kitab maulid Simthu Al-Durar yang berisi kisah perjalanan hidup Rasulullah SAW. Kitab ini yang akhirnya sering dibaca dan diiringi hadrah saat memperingati maulid Nabi Muhammad SAW.
Melalui putranya Habib Alwi bin Ali Muhammad Al Habsyi, tradisi rebana gaya Habsyi dan pembacaan maulid Simthu Al-Durar dibawa ke Nusantara.
Khataman Santri dan Haul Pendiri Pondok Pesantren At Tauhid Al Islamy, di Desa Kapuhan, Kecamatan Sawangan, diinisiasi oleh perhimpunan alumni pondok. Selain Festival Rebana Klasik, juga digelar selawat bersama Gus Sholeh Elham dan Gus Zaenal Mubarok.
0 Komentar