Tradisi Tedak Siten Digelar Warga Lereng Gunung Sumbing

Dilihat 2067 kali
Prosesi tedak siten warga Dusun Nerangan Desa Mangunrejo Kecamatan Kajoran Kabupaten Magelang

BERITAMAGELANG.ID - Tradisi Tedak Siten atau prosesi upacara ketika seorang anak turun tanah digelar warga di lereng Gunung Sumbing tepatnya di Dusun Nerangan Desa Mangunrejo Kecamatan Kajoran Kabupaten Magelang. Tradisi Jawa yang mulai dilupakan ini digelar untuk seorang anak bernama Kaesar Novan Tri Nugroho, putra pasangan Sekti Nugroho dan Lisa Ana Riski.


Bagi Lisa Ana Riski, tradisi tedak siten ini penuh makna karena diyakini menjadi simbol penghormatan kepada bumi serta harapan baik bagi masa depan si buah hati.


"ini tradisi di dusun kami setiap anak umur 6 bulan 9 hari harus di-tedak siten," kata Lisa, Senin (5/9/2022).


Lisa menambahkan, Tedak Siten ini digelar dengan hitungan Jawa untuk anak umur 9 bulan 6 hari. Seumpama anak lahir pada Sabtu Pon maka Tedhak Siten digelar pada Sabtu Pon yang kedelapan kali.


Ia mengaku bahwa dia memang sengaja melangsungkan prosesi Tedak Siten dengan mengundang anak-anak di kampungnya. Tujuan diadakannya tradisi ini adalah mengenalkan anak-anak dengan budaya Jawa tempo dulu yang kini mulai jarang dilakukan.


Tedak siten adalah bahasa simbolik yang mengajarkan tentang kearifan hidup, seperti bagaimana hubungan manusia, alam dan tuhan secara harmoni.


Tedak siten juga dikenal sebagai upacara turun tanah, tedak berarti turun, dan siten berarasal dari kata siti yang berarti tanah. Prosesi ini juga bertujuan supaya anak tumbuh menjadi anak yang  mandiri. Tedak siten biasanya digelar saat anak berusia tujuh atau delapan bulan.


Dalam prosesi tersebut, seorang anak ditempatkan di dalam kurungan yang terdapat buku, pensil dan lain sebagainya. Beberapa benda itu nantinya dipilih oleh sang anak yang dipercaya akan menentukan profesi yang akan digeluti sang anak di masa yang akan datang.


"Tradisi ini sudah dilakukan sejak nenek moyang. Tadi adik pertama memilih bolpoin (pulpen) sama buku. Artinya anak mau pinter sekolah," terang Lisa.


Dalam prosesi ini juga dilibatkan seorang sesepuh dan masyarakat yang nantinya mendoakan agar ke depannya sang anak lebih baik.


Prosesi ini dimulai dengan menapaki jadah tujuh warna, dan dilanjut naik tangga. Tangga tradisional dibuat dari tebu jenis Arjjuna dengan dihiasi kertas warna warni. Ritual tersebut melambangkan harapan agar si bayi memiliki sifat ksatria layaknya arjuna. Tebu dalam bahasa jawa adalah kependekan dari antebing kalbu yang berarti bermakna kemantapan hati.


Rangkaian prosesi tedak siten diakhiri dengan memandikan bayi ke dalam air bunga setaman lalu dipakaikan baju baru. Prosesi pemakaian baju baru inipun dengan menyediakan tujuh baju yang pada akhirnya baju ketujuh yang akan dia pakai. Hal ini menyimbolkan pengharapan agar bayi selalu sehat, membawa nama harum bagi keluarga, hidup layak, makmur dan berguna bagi lingkungannya.


"Harapannya Thole (sebutan Jawa bagi anak laki laki) ke depan tetap sehat, pintar dan berguna bagi semua," ucap Lisa.


Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar