Gerabah Pak Slamet dan Debat Cawapres

Dilihat 687 kali

BERITAMAGELANG.ID - Pak Slamet berjalan lambat sambil memikul gerabah dagangannya. Siang itu (22/11/2023), usai ibadah Jumat, ia terlihat menyusuri jalan jalan dusun di Karangkulon Desa Bandongan Kabupaten Magelang. 


Ketika sampai di bawah pohon nangka yang rimbun, diturunkannya keranjang gerabah lalu dihempaskan tubuhnya terduduk di tanah seolah tak mampu menahan lelah.


“Nama saya Slamet, dari  Borobudur. Sejak muda ke sana kemari jualan gerabah,” ungkapnya waktu itu.


Namun ketika covid melanda di 2019, pekerjaan itu dihentikan sementara karena ada kebijaksanaan pembatasan sosial waktu itu.


“Sejak covid itu, baru sekarang ini saya mencoba berdagang kembali. Namun setelah tidak ada covid, ternyata tidak bisa segera berjualan karena sakit. Kata dokter di dalam paru paru ada kabutnya. Sejak itu saya putuskan untuk istirahat,” jelasnya.


Jika hari itu, Pak Slamet kembali berjualan bukan karena sudah sembuh dari sakit yang diderita selama ini, tetapi karena kebutuhannya yang mendesak.


“Saya dapat undangan walimahan di dua tempat pada hari Rabu besok itu. Rasanya tidak enak jika tidak datang dan tidak nyumbang,” ujarnya menarik nafas panjang.


Namun mengulangi profesi masa lalu saat sebelum pandemi Covid 19, ternyata tidak mudah bagi pria berusia 60-an tahun itu. Para pelanggannya yang dulu pernah diandalkan telah berpaling darinya.


“Pelanggan saya yang di Dusun Jati itu tidak bisa menerima karena libur berjualan, katanya sebentar lagi mau punya gawe mantu. Yang di Desa Tonoboyo tidak bisa menerima karena sudah tidak jualan lagi,” lanjutnya.


Tidak putus asa dengan penolakan-penolakan itu, ia mencoba mendatangi pelanggannya yang lain yaitu bakul di Pasar Bandongan. Sayang, ujarnya, para bakul di pasar menawar dengan harga rendah sekali. Barang-barang ini hanya ditawar dengan harga Rp5.000 per buah. 


“Padahal saya  kulakan di Desa Nglipoh sudah Rp8.000 per buah,” ungkapnya getir.


Saat getir itu, ia memutuskan menjual dagangannya berkeliling dari dusun ke dusun sambil berjalan pulang menuju desanya, Borobudur. 


“Sudah dua hari saya meninggalkan rumah, baru dua biji yang laku,” ungkapnya.


Di keranjang yang dipikulnya selain tumpukan gerabah terlihat botol mineral berisi air teh dan sebungkus nasi. 


“Nasi dan teh itu saya dapatkan dari para pemuda yang menyelenggarakan Jumat berkah di depan masjid tadi pagi,” jelasnya.


Gerabah yang dijualnya produk warga dusun yang berada di seputar Candi Borobudur. Jenisnyapun tak banyak, hanya tiga jenis seperti kreweng, cowek, dan piring tanah. Jenis jenis gerabah yang digunakan secara umum di masyarakat pada masa lalu, tetapi sudah tak banyak yang menggunakannya di masa kini. 


Gerabah sudah ada sejak puluhan ribu tahun silam. Pada masa Revolusi Neolitik atau revolusi Pertanian. Saat itu gaya hidup berburu berubah menjadi bertani dan bercocok tanam.


Saat itu gerabah tercipta sebagai wadah air yang ringan dan praktis untuk menyirami tanaman dan mengumpulkan produksi pertanian pasca panen.


Gerabah dan Borobudur


Di seputar Candi Borobudur terdapat sentra kerajinan gerabah yaitu di Nglipoh mempunyai sejarah panjang. Keberadaan yang berada hanya sekitar 3 kilometer dari Candi Borobudur memperkuat dugaan ada hubungan erat antara Dusun Nglipoh dengan monumen dunia itu.


Lebih-lebih bila dicermati relief Candi Borobudur banyak menggambarkan keberadaan jenis jenis gerabah dalam segala bentuk. Tidak hanya itu relief itu juga menggambarkan teknik dan proses pembuatan gerabah, bagaimana tanah liat diangkut, hingga proses pembakarannya.


Kesemuanya memperkuat dugaan bahwa relief gerabah di Borobudur tercipta karena terinspirasi oleh kerajinan gerabah di dusun itu. 


Atau bisa jadi sentra gerabah di Nglipoh itu tumbuh untuk memenuhi penyediaan gerabah sebagai alat memasak makanan bagi para buruh pembangun Candi. Sesuai dengan perkembangan zaman Candi Borobudur menjadi kian moncer. Bahkan pada tahun ini Candi Borobudur diperkirakan dikunjungi oleh dua juta wisatawan. 


Di antara dua juta wisatawan itu ada menyaksikan kerajinan grabah. Tentu banyak yang berharap popularitas candi besar itu turut membawa keberuntungan  bagi warga di seputar candi, termasuk Pak Slamet.


Gerabah yang berkembang sejak revolusi pertanian ternyata terus berkembang melampaui zaman. Ketika era industri datang, gerabah tetap eksis. Ketika era teknologi Informasi datang produk kerajinan tetap mengundang minat banyak orang.


Bahkan ketika pemerintah mencanangkan era ekonomi kreatif dan ekonomi digital seperti yang didebatkan para Cawapres pada 22 Desember 2023 malam, kerajinan gerabah diyakini akan berkembang lebih maju. Pemasaranpun akan dilakukan secara online tak perlu berjalan jauh seperti yang dilakukan Pak Slamet.


Tetapi beliau barangkali belum mampu mengikuti perkembangan itu.


Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar