Mengulang Sejarah Kuda Tangguh dari Kedu

Dilihat 295 kali
Joki bersiap menempatkan kuda di garis start pada Pacuan Kuda Magelang Cup di Candimulyo.

BERITAMAGELANG.ID - Bukan dari Sumbawa atau Flores, wilayah Kedu pernah memiliki jenis kuda berkarakter tangguh. Kendaraan angkut andalan para petani di lereng Menoreh, Sindoro, dan Merbabu.


Jaran Kedu konon pertama kali dikembangbiakan di wilayah Mergowati, Tamanggung. Kuda peranakan ini hasil kawin silang jenis lokal dengan ras Timur atau kuda Mongol.   


Dalam buku Veerassen en Veeteelt in Nederlansch yang merangkum ras serta jenis ternak di Hindia Belanda, digambarkan kuda Kedu memiliki postur pendek dengan ukuran kepala sedang dan rahang besar. 


Dadanya lebar dengan kaki dan kuku yang kuat. Ketangguhan kuda Kedu konon dari hasil beradaptasi dengan kondisi tanah berbatu di dataran tinggi.


Wilayah Mergowati kemudian dikenal sebagai daerah penghasil kuda terbaik di Jawa. Sri Susuhunan Pakubuwono III yang dikenal keranjingan memelihara kuda, bahkan pernah memilih Gunung Jaran di Kedu sebagai tempat mengumbar tunggangan kesayangannya.


Warga di kawasan Gunung Jaran mendapat kompensasi bebas dari membayar pajak, asal mau merawat kuda-kuda milik raja Jawa pertama yang dilantik oleh VOC tersebut. 


Namun, sekitar 1822, pamor kuda Mergowati redup. Diduga akibat mulai masuknya kuda Sumbawa dan kuda peranakan Eropa, sehingga jenis Jawa kurang diminati.


Kuda keturunan lokal kemudian dipakai untuk kuda kerja. Dimanfaatkan tenaganya untuk menarik gerobak mengangkut hasil bumi atau kereta penumpang.


Jasa Kuda Wekas  


Pada masa ini nama kuda Wekas mulai moncer. Karakternya yang tahan penyakit serta bertenaga besar, cocok jadi kendaraan pengangkut barang di lereng Merbabu.


Selama masa penjajahan Belanda, kuda Wekas memiliki jasa besar bagi jawatan pos. Mereka dipakai untuk mengangkut barang pos melintasi jalur Jamboe yang hingga 1870-an belum bisa dilewati kereta kuda.


Angkutan pos dari arah Jogja dibongkar di daerah Pingit untuk dilansir ke punggung kuda hingga Bedono. Dari Bedono barang-barang dimuat kembali ke kereta kuda untuk kemudian diangkut sampai Ambarawa hingga lanjut naik kereta api.   


Ada masanya kuda Wekas punya peran penting menjadi sarana angkut genting dari tobong di daerah Kalangan, Salaman Kabupaten Magelang. Hingga menjelang 1900-an, masih bisa dijumpai kuda-kuda mengangkut genting ke Kajoran dan Kaliangkrik Kabupaten Magelang.


Hingga kini masih bisa ditemukan tobong-tobong genting di Kalangan. Peran kuda sebagai pengangkut barang, digantikan kendaraan bermotor yang dianggap lebih efisien. 


Klangenan Para Bangsawan


Sekitar awal 1900-an kuda juga menjadi penanda status sosial. Priyayi Jawa atau pejabat pribumi yang bekerja pada pemerintah Belanda, memelihara kuda-kuda bagus layaknya barang mewah.      


Bupati keempat Magelang, RAA Danoesoegondo diketahui mengoleksi beberapa kuda bagus. Dia sering menemani pejabat Belanda yang berkunjung ke Magelang, berkuda hingga Grabag dan Bandongan.


Kuda sesungguhnya bukan peliharaan yang asing bagi warga Magelang. Mundur sekira 30-an tahun lalu, andong atau dokar banyak ditemui di pasar atau pusat keramaian.   


"Saya ingat masa kecil saya. Mungkin sekitar 25 atau 30 tahun lalu, setiap tahun di Kecamatan Grabag ada lomba pacuan kuda," kata Camat Grabag, Sri Utari. 


Jauh sebelumnya, pacuan kuda rutin digelar di Grabag. Acara tahunan itu biasanya diadakan di bulan Syawal sehabis Lebaran.    


Menurut ingatan Sri Utari, pacuan kuda diadakan di lapangan kecamatan Grabag. Warga tumpah ruah menonton kuda-kuda beradu lari di lintasan. 


Tidak hanya diikuti kuda lokal dari Kabupaten Magelang, peserta pacuan datang dari luar daerah seperti Semarang, Salatiga, dan Yogyakarta. 


"Saya masih agak ingat karena saat itu sudah SD," kisahnya.


Grabag boleh dibilang salah satu kecamatan tua di Magelang, selain Muntilan, Mertoyudan, dan Secang. Daerah ini memiliki banyak cerita sejarah masa kolonial yang pasti dekat dengan kuda. 


Sebagai transportasi utama, kuda banyak ditemui di wilayah yang pernah menjadi bagian dari pusat pemerintahan Belanda. Gaya hidup orang Eropa yang lumrah memelihara kuda, diikuti oleh para bangsawan pribumi atau orang terpandang.


"Sekarang di Grabag jumlah pemilik kuda sudah banyak berkurang. Dulu masih ada delman. Kita pulang sekolah masih naik dokar, sekarang sudah nggak ada," ungkapnya.


Pacuan Kuda Grabag


Upaya kembali mengenalkan kuda pada masyarakat Grabag, ditempuh melalui penyelenggaraan pacuan Grabag Cup 2024 yang diadakan 20-21 April. Sekitar 70 kuda dari sejumlah stable di Jawa Tengah, ikut serta.    


Lahan kecil bekas tegalan di Desa Kalisalak, diubah menjadi lintasan pacu kuda. Bukan event besar memang, karena tujuan utama adalah memancing minat masyarakat dan peserta pemilik kuda.  


"Di Kalisalak itu lintasannya bukan untuk kuda-kuda besar karena belum siap arenanya. Ini sebagai uji coba minat masyarakat dan peserta," kata Sri Utari. 


Lomba pacuan Grabag Cup 2024 digagas oleh Arifin, pemilik tim pacuan kuda, Speed Up Stable. Juragan sapi di Grabag ini terkenal sebagai pecinta berat balap kuda. 


Kelasnya bukan lagi mengikuti lomba pacuan tingkat kabupaten, tapi nasional. Berkali-kali rencana untuk bertemu Arifin gagal karena sedang sibuk mempersiapkan diri mengikuti lomba Piala Tiga Mahkota Seri 1 di Pacuan Kuda Sultan Agung, Bantul.     


Camat Grabag, Sri Utari, berencana menjadikan Grabag Cup menjadi event lomba tahunan. Tidak hanya mengenalkan kembali kuda kepada masyarakat, tapi juga mendukung perekonomian daerah. 


Pacuan kuda berpotensi digarap serius menjadi agenda wisata tahunan. Perputaran uang selama pacuan kuda di Kalisalak, banyak membantu pedagang kecil.


"Saya mendukung untuk mengadakan event tahunan atau mungkin diadakan setahun dua kali. Menarik wisatawan, mendukung usaha kecil, serta menjadi hiburan untuk warga kami," ujarnya.

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar