Seni rupa tradisi, sebagaimana kata tradisi yang disandangnya, semula merupakan bagian dari praktik kehidupan yang menyatu dengan kehidupan komunitasnya. Sebagaimana cakrawala manggilingan layaknya roda yang selalu berputar, pernah mengalami masa kejayaan, tapi kini harus bertahan menghadapi riak gelombang modernisasi.
Eksistensi seni rupa tradisi yang dikenal hingga kini tak bisa lepas dari kesenian tradisi yang menjadi induknya. Wayang kulit, misalnya merupakan sebuah seni pertunjukan yang perwujudannya multi dimensi. Di dalamnya memuat banyak dimensi seni baik dari unsur musik, sastra, teater, dan rupa.
Seni Kolektif
Di samping itu dalam seni pertunjukan wayang merupakan bentuk dari seni kolektif, artinya sebagai media pertunjukan banyak elemen pendukung yang saling mengikat dalam kesatuan sedemikian rupa hingga menjadi tontonan yang utuh. Elemen visual di dalam wayang kulit mempunyai nilai estetika tertentu lewat tampilan bentuk, teknik, serta pewarnaan.
Sebagai bentuk pertunjukan maupun sebagai bagian dari seni rupa, wayang kulit bagi masyarakat pendukungnya tetap memiliki makna tersendiri. Makna tersebut antara lain dapat tersembunyi dalam simbol penokohannya. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya, tema cerita juga menjadi pilihan bagi pelaku seni rupa.
Dalam perkembangan seni rupa tradisi juga dikenal adanya lukisan kaca yang sebarannya meluas ke berbagai daerah. Lukisan kaca merupakan suatu karya seni rupa yang menggunakan media kaca. Secara konvensional, yang harus dipersiapkan dalam melukis kaca, selain kaca bening, adalah pola, yakni kerangka gambar yang berujud garis. Pola ini biasanya digambarkan pada kertas transparan. Pola ditempatkan di bawah kaca, untuk kemudian dibuat garis sesuai pola dengan menggunakan pen atau rapido. Pembuatan ini secara garis adalah membuat objek paling depan lebih dulu, disusul obyek-obyek di belakangnya dan terakhir membuat background.
Lukisan kaca ini tumbuh dan berkembang pada akhir abad ke-19 sampai abad ke-20. Sentra-sentra lukisan ini bermunculan dengan suburnya bak jamur di musim hujan. Dari daerah Cirebon sebagai sentra utama kemudian menyebar luas ke beberapa daerah lain, seperti Yogyakarta, Surakarta, Magelang, Wonogiri, dan Wonosobo.
Dari daerah-daerah ini muncul tangan-tangan kreatif yang mempunyai minat dan komitmen untuk terus mempertahankan seni rupa tradisi bernafaskan nuansa lokal. Selain bermedia kaca, ada juga lukisan tradisi yang bermedia kain yang juga bertebaran di berbagai wilayah.
Dalam perkembangan selajutnya, Kadipaten Mangkunegaran lebih aktif membina dan menjalin relasi dengan pihak-pihak luar. Sehingga secara faktual, lambat namun pasti, tujuan yang semula hanya untuk memproduksi wayang beber Pacitan berkembang menjadi gaya Mangkunegaran.
Wayang beber dengan gaya Mangkunegaran ini berkembang luas ke masyarakat. Hermin Istiariningsih, salah satu seniman seni rupa tradisi banyak mendapatkan beberapa pola pokok gaya Mangkunegaran yang dikenal sangat luwes dan tidak kaku (Majalah Gong, No. 73 thn. 2005).
Diperlukan Kepedulian
Kini seni rupa tradisi mungkin telah melewati masa jayanya. Kegemaran padanya, seperti pada lukisan kaca, kebanyakan lukisan-lukisan lama hanya dianggap sebaga barang antik. Dulu lukisan kaca fungsinya bagi masyarakat Jawa adalah untuk menghiasi rumah sebagai tanda status sosial dan sebagainya, kini hanya sekadar hiasan yang konsumennya sangat terbatas. Hal itu dikarenakan masyarakat lebih cenderung pada seni populer.
Salah satu faktor ekonomi, barangkali menjadi acuan kuat bagi eksistensi kehidupan kesenian tradisi di berbagai wilayah negeri ini. Termasuk kehidupan seni rupa tradisi. Mereka hidup dan berkembang seiring pasang surutnya keberadaan ekonomi pada era tertentu.
Membaca seni rupa tradisi tak bisa meninggalkan kehidupan ekonomi para pelaku, terutama senimannya. Parameter ini barangkali tidak bisa dijadikan patokan, namun sebagian besar kehidupan seniman yang telah bertahun-tahun menggeluti bidang seni ini ternyata masih banyak yang memprihatinkan.
Di Jawa Tengah ataupun juga di daerah lain, ditengarai para seniman yang bergelut dengan seni rupa tradisi ini dari waktu ke waktu mulai berkurang jumlahnya. Karena desakan ekonomi yang harus terpenuhi, mereka mulai meninggalkan tradisi, mengikuti budaya yang terus tumbuh sekaligus menebarkan jaring-jaring pesona populernya ke arah pasar yang bersifat konsumtif.
Adapun mereka yang masih bertahan pada nilai tradisi harus rela dilanda kesepian berkepanjangan. Kebanyakan penonton, pemerhati, dan komunitas pendukungnya sudah meninggalkan. Hanya segelintir orang yang mau berkunjung. Itu pun mereka datang hanya untuk kepentingan personal maupun institusi.
Melihat fenomena di atas, kiranya semua pihak perlu memberikan kepedulian agar mereka itu bisa bangkit kembali. Pihak pemerintah bisa memberikan pendampingan agar karya-karya mereka bisa laku di pasaran. Misalnya dengan promosi di ajang pameran unggulan daerah, atapun memberikan suntikan modal usaha ringan, terjangkau, serta mendidik.
Di samping itu pihak swasta, seperti LSM, perusahaan, atau media massa bisa mencarikan solusi dengan pendampingan intensif dan berkelanjutan, seperti pembuatan proposal agar mereka bisa mencari celah-celah jaringan untuk mempromosikan karya-karya mereka.
Dengan kepedulian dalam aksi konkret tersebut, sudah merupakan kontribusi berharga yang tidak bisa diukur dengan nilai apapun. Paling tidak dapat memberikan penghiburan dan jalan keluar agar para seniman tradisi tidak terus mengalami kesepian karena memegang prinsip nguri-uri (melestarikan) seni tradisi.
(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Mertoyudan Kabupaten Magelang)
0 Komentar