Wayang Jataka Berbasis Sastra

Dilihat 2373 kali
Wayang Jataka dengan Dalang Ki Bambang Eka Prasetya menguatkan pemahaman relief Candi Borobudur berbasis sastra
Sebagaimana suatu kebudayaan yang di dalamnya selalu mengandung berbagai macam ajaran bagaimana hidup ini harus dijalani, maka dalam wayangpun terkandung ajaran-ajaran yang menunjukkan dinamika hidup yang harus dijalani oleh seluruh umat manusia selama hidup di dunia.

Wayang merupakan salah satu warisan budaya yang mempunyai kelangsungan hidup secara berkesinambungan dan tak lekang oleh pusaran waktu. Sebagai hasil kebudayaan, wayang memiliki nilai hiburan yang mengandung cerita pokok dan juga berfungsi sebagai media komunikasi.

Di samping itu, dalam penyampaian ceritanya diinterpolasikan dengan pesan-pesan yang menyentuh berbagai aspek kehidupan, sehingga berfungsi juga sebagai media pendidikan yang sarat akan nilai-nilai humaniora. Variasinya dapat meliputi aspek kepribadian, kepemimpinan, kebijaksanaan, kearifan dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara (Kanti Waluyo, 2000).

Wayang telah diakui UNESCO sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity (Karya-karya Agung Lisan dan Tak Benda Warisan Manusia). Wayang diakui sebagai karya agung karena mempunyai nilai tinggi bagi peradaban umat manusia. Wayang sarat nilai, baik yang tercermin pada karakter tokoh, cerita, maupun berbagai unsur lain yang mendukung. Semua itu baik dijadikan rujukan pengembangan karakter bangsa.

Cerita Relief

Dari sekian jenis wayang yang berkembang di Indonesia, di Magelang telah muncul jenis Wayang Jataka. Wayang ini dirintis oleh Bambang Eka Prasetya dari Lembaga Budaya Nittramaya Dusun Pandansari Utara Kelurahan Sumberrejo, Mertoyudan Kabupaten Magelang. Cerita dalam wayang tersebut terinspirasi dari relief Candi Borobudur yang setiap guratan reliefnya menyimpan beragam cerita kebajikan yang luar biasa dan tak habis untuk digali sebagai sumber inpirasi.

Candi Borobudur menjadi sangat istimewa karena memiliki 2.672 panel relief yang terdiri dari 1.212 panel relief dekoratif dan 1.460 panel relief naratif. Dalam panel naratif tersebut termuat begitu banyak cerita, diantaranya cerita Jataka. Cerita ini bersumber dari relief Jataka yang berada di lantai 3 Candi Borobudur.

Dalam Relief Jataka tersebut mengisahkan kelahiran masa lampau Bodhisattwa dalam upaya menyempurnakan kebajikan demi mencapai kecerahan. Seperti dalam cerita-cerita wayang lainnya banyak di dalam cerita tersebut sarat akan nilai-nilai moral yang hakiki sebagai pelajaran hidup. Seperti dalam cerita Vyagri Jataka (welas asih tanpa pamrih) dalam panel 2 yang mengisahkan Bodhisattwa menjadi cendekiawan dan guru yang hebat. Tanpa keinginan untuk menjadi kaya dan mengambil keuntungan, ia rela masuk hutan dan memulai kehidupan sebagai seorang pertapa.

Ada juga cerita Vishvantara Jataka dalam panel 35-39 yang mengisahkan Pangeran Vishvantara walaupun dilahirkan sebagai keluarga aristokrat, dirinya berjiwa dermawan dan welas asih. Ia selalu memberi sedekah kepada para pengemis dan mereka yang kekurangan dengan suka cita. Sebagian besar hidupnya didarmakan untuk kemanusiaan dengan cara ia berkeliling sendiri ke berbagai ruang pinndapatta (derma) sebagai wujud kesetiaan kepada pengabdian yang diyakininya.

Cerita-cerita Jataka yang diturunkan sampai sekarang menyajikan beberapa catatan dari kehidupan tersebut dan berbagai peran yang telah dijalani Bodhisattwa diantaranya sebagai orang bijak, raja, kepala pekerja, pekerja yang terampil. Ia juga pernah menjadi beragam jenis hewan yang rendah hati namun bijak. Diantaranya juga sebagai kelinci, ikan, burung puyuh, angsa, gajah, dan kera, semuanya terkenal. Dan sebagian dari hidupnya juga dilewatkan di antara para dewa di surga.
 
Berbasis Sastra

Ide mencanangkan Wayang Jataka sebagai branding Candi Borobudur layak diapresiasi. Wayang ini berbasiskan sastra, yang tak akan habis untuk digali. Untuk bentuk performance atau pertunjukannya dapat dari berbagai jenis wayang, baik itu wayang kulit, wayang golek, wayang orang, dramatari, dan sebagainya. Namun, substansinya harus berbasis sastra yang bersumber dari Avatamsaka Sutra.

Untuk memelajari relief di Candi Borobudur, kata kuncinya harus memelajari sastranya dulu. Jangan malah berpola pikir terbalik. Seperti mengunjungi candi, melihat relief, kemudian menafsirkan dengan cara pandang sendiri. Tentunya cara pandangnya banyak yang melenceng dari substansi sastra.

Untuk mempelajari sastra memang butuh ketekunan. Kita harus mau bermati raga, memperkuat literasi kita. Satu demi satu kata atau kalimat dicermati untuk dikaji. Setelah paham substansi dan konten sastranya baru melihat reliefnya. Dengan demikian publik akan lebih memahami dengan cara pandang yang tidak keliru.

Kiranya mulai sekarang seni baca relief perlu digalakkan ke berbagai sektor, baik pariwisata, pendidikan dan kebudayaan, atau BUMN. Dengan demikian semua stakeholders atau pemangku kepentiangan maupun komunitas dapat memahami makna nilai luhur dari relief tersebut.

Di samping itu Wayang Jataka merupakan media efektif untuk menanamkan nilai karakter sekaligus jati diri budaya kepada publik dan generasi milennial. Dengan kolaborasi paralel berbagai pihak, baik institusi pemerintah, lembaga swasta, dan komunitas seni maupun pariwisata, wayang jataka dapat segera didesiminasikan agar lebih dikenal dan mengakar. Tentunya ke depannya akan mengangkat branding Candi Borobudur dari perspektif historis maupun sastranya.

(Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang)

Editor Fany Rachma

0 Komentar

Tambahkan Komentar