Kiprah Kartini Berkesenian

Dilihat 218 kali
Perempuan dalam berekspresi seni pertunjukan di atas panggung selalu menjadi aura dan daya tarik spesifik agar roh seni pertunjukan tersebut tetap hidup.

APABILA bicara terkait dengan perempuan dikomparasikan dengan keadaan laki-laki, terlebih secara visual maka eksistensi sosok perempuan dapat divisualisasikan bahwa penampilan mereka lembut, gemulai, feminim, dan sensitif. Keadaan perbedaan biologis ini telah memberikan pandangan tertentu tentang kedudukan seorang perempuan dalam aktivitasnya pada bidang atau disiplin ilmu tertentu.

Dalam  ranah konteks seni pertunjukan yang memvisualisasaikan berbagai aspek seni , baik itu seni tari, musik, teater, dan sebagainya peran perempuan bisa dikatakan menonjol atau juga dominan. Bisa juga dikatakan, sosok perempuan merupakan pelaku seni. Sedangkan dalam  seni pertunjukan merupakan wadah sekaligus sebagai ruang lingkup aktivitas berkesenian para pelaku melakukan proses kreatif yang tak pernah henti.

Sejak zaman feodal sampai sekarang, tidak bisa dipungkiri, realitanya perempuan  tersebut sering dipuja bagai bulan bersinar,juga disanjung bagai sekuntum bunga, gemulai saat menari bagai para bidadari  dari kahyangan Swargaloka. Realita ini tidak berhenti hanya pada zaman kedewataan yang mendudukkan perempuan sebagai semiotika estetis, namun sampai saat ini masih abadi dan tak akan lekang dalam pusaran waktu walaupun zaman sudah mulai berubah.

Sistem Patriarki

Di masa lalu atau mulai zaman feodal pencitraan perempuan diberikan kaum laki-laki, tepatnya oleh sistem kultur patriarki, yaitu sistem yang mengedepankan laki-laki sebagai penguasa dan penentu semua kebijakan.Termasuk penguasa menentukan segala hal, di antaranya menguasai perempuan untuk segala bidang.

Dalam proses dinamika waktu yang berjalan, posisi perempuan dalam seni pertunjukan semisal seni tari memegang posisi strategis, seperti penari tayub, ronggeng, jaipongan, dan lain-lain. Eksistensi mereka selalu tersanjung atas prestasi dan daya tarik mereka dalam menunjukkan ekspresinya saat melakukan teknik penampilannya di atas panggung seni pertunjukan.  

Kondisi alamiah yang merupakan wujud kodrati itu  menjadikan kondisi kultural. Tidak berlebihan, apabila  perempuan selalu dikedepankan sebagai sebuah pendukung prestisius dari jabatan, kekayaan, dan juga otoritas. Tidak hanya para penguasa di mayapada saja yang tertarik pada eksotika perempuan, namun menurut legenda disebutkan bahwa para dewata dalam mitologi Hindu juga  sangat mengagumi para bidadari-bidadari yang menari dengan gemulai penuh aura, seperti Bidadari Supraba, Dersanala, Wilutama, Widatwati, dan sebagainya. Kondisi demikian itu menjadi sorotan dari gerakan feminisme strukturalis, dengan tujuan perempuan dapat didorong untuk lebih progresif,yang pada akhirnya dapat memunculkan gerakan  gender yang kini senantiasa aktual untuk diwacanakan sebagai bahan dialektika.

Pada banyak genre atau jenis seni tradisional, perempuan masih semata-mata ditempatkan sebagai daya tarik utama (center of interest) agar mata penonton terpikat atau bahkan terlibat dalam pertunjukan itu sebagai bentuk dari tari pergaulan atau sosial. Sebut saja  Lengger di Banyumas, tayub di Blora, Gandrung dari Banyuwangi, Joged dai Bali, dan lain-lain adalah beberapa contoh kesenian tradisional yang memosisikan perempuan sebagai obyek pemikat perhatian komunitas penonton yang dapat memberikan hiburan estetis (Endang Caturwati,  2009).

Posisi Dominan

Namun saat ini, secara faktual bisa dicermati, bahwa peran perempuan dalam jagat kesenian secara kuantitatif menunjukkan posisi dominan. Berbagai sanggar seni, sebagian besar murid dan pimpinannya adalah perempuan. Demikian juga pada berbagai bentuk seni pertunjukan, baik yang berasal dari lingkungan istana maupun rakyat,perempuan masih menunjukan peran signifikan.Tari bedaya, srimpi, golek, dan lain-lain yang ada di keraton Yogya atau Surakarta adalah repertoar khusus ditarikan oleh perempuan.

Di lingkungan seni rakyat, dinamika yang berkembang  belakangan ini muncul fenomena peran tertentu  dalam seni pertunjukan yang dulu dimainkan oleh laki-laki, sekarang justru banyak diperankan oleh perempuan. Di antaranya Soreng dari lereng Merbabu Magelang, Wayang Topeng dari Padepokan Tjipta Boedaja Tutup Ngisor Dukun Magelang,Lengger di Banyumas, Dolalak di Purworejo, dan berbagai jenis kesenian rakyat lainnya yang tumbuh dan berkembang di beberapa daerah.

Di Pulau Dewata dikenal juga sosok maestro perempuan seperti Ni Luh Nesa Swasthi Wijaya dengan karya monumentalnya Tari Puspanjali sebagai tari penghormatan bagi para tamu. Sedangkan di jagad teater siapa tidak mengenal Yudiaryani dari ISI Yogyakarta, sutradara,pemain, kritikus teater yang semua karyanya banyak menjadi parameter perkembangan seni teater.

Di Amerika dikenal sosok koreografer handal Marta Graham dan Isadora Duncan yang menentang penari perempuan hanya sebatas sebagai figur yang dikekang oleh banyak aturan, tetapi kehilangan ciri manusiawi dan privasinya.

Bila ditelisik lebih jauh, Kabupaten Magelang banyak memiliki potensi sumber daya perempuan yang patut dibanggakan. Sebut saja Dr.Dra.Wenti Nuryani, M.Pd., dari Dusun Tambakan, Desa Sedayu, Muntilan, Kabupaten Magelang. Di samping sebagai seorang akademisi Dosen Pendidikan Seni Tari Universitas Negeri Yogyakarta, beberapa karya koreografinya suda bermunculan dan dikenal di ranah publik. Seperti koreografi bertajuk Sumur, Dapur, dan Kasur (2009) yang didedikasikan untuk para perempuan agar tidak gampang putus asa.

Ada juga  sosok Nirmala Candrawati Ketua Sanggar Nirwana Panca Arga Mertoyudan Kabupaten Magelang yang sudah malang melintang dalam berkarya seni tari.Salah satunya Tari Muhasabah (2021). Tari ini mengisahkan upaya manusia untuk selalu instrospeksi diri selama menjalani kehidupannya. Di samping itu, alumnus ISI Yogyakarta jurusan seni tari tersebut telah menciptakan puluhan tari tunggal dan kelompok sebagai wujud konkret proses kreatifnya.

Dua sosok perempuan tersebut paling tidak sudah mewakili dari para kreator seni lainnya dari Kabupaten Magelang. Bukti konkret tersebut menunjukkan bahwa proses kreatif berkesenian sudah tidak ada batas atau subordinasi antara laki-laki dan perempuan. Mereka memiliki kesempatan sama dalam berkarya.

Dengan demikian kapasistas perempuan dalam berkesenian yang ingin memosisikan  kesetaraan gender perlu terus diperjuangkan dan perlu dukungan semua pihak. Tentunya ada kiat dari semua pihak yang menguatkan bahwa citra perempuan dalam ranah seni adalah wujud dari komitmen mereka akan revitalisasi seni yang selalu berjalan dengan segala dinamika yang tanpa henti. Namun mereka perlu dimotivasi akan proses kreatifnya yang tanpa mengenal lelah dan putus asa.   

Terlebih sekarang ini, kita hidup di era digital, maka perjuangan perempuan semakin kompleks.Kehidupan sekarang ini dikelilingi dalam kompleksitas media. Konsekuensinya tidak hanya mampu membaca, namun perlu memahami sampai kedalaman substansinya, agar perempuan bisa membekali dirinya dengan pengetahuan yang bermanfaat dari semua aspek termasuk dalam berkesenian.

Sekali lagi ditegaskan, dalam perjalanan waktu, sosok perempuan dalam berkesian tetap eksis dan sampai saat ini akan abadi, sebagaiman yang diamanatkan oleh Kartini, bahwa perempuan harus dapat menempatkan diri di segala lini, yang posisinya paralel dengan kaum laki-laki.


Selamat Hari Kartini 2024.


Oleh: Ch. Dwi Anugrah, Ketua Sanggar Seni Ganggadata  Desa Jogonegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kab. Magelang 

Editor Slamet Rohmadi

0 Komentar

Tambahkan Komentar