BERITAMAGELANG.ID - Departemen Penerangan pernah punya jasa besar pada seniman tradisional era 1970-an. Banyak seniman meniti karir dari atas panggung keliling yang digelar dinas informasi publik itu.
Sebut saja legenda ludruk Jawa Timur, seperti Cak Durasim, Kartolo dan Sapari. Atau Ngatirah, sinden sohor yang pernah bergabung dengan kelompok karawitan RRI Surakarta, sebelum rekaman di Lokananta dan Fajar Record.
R. Boediarjo yang menjabat Menteri Penerangan pada 1968 hingga 1973, punya jasa besar pada para seniman. Dia memberi ruang yang lega bagi para penampil kesenian tradisional untuk ikut pentas keliling bersama Departemen Penerangan.
Seniman lokal jadi punya peluang besar untuk lebih dikenal orang. Lewat TVRI dan RRI, bakat-bakat mereka akhirnya naik ke permukaan.
Hubungan Departemen Penerangan dan seniman tradisional tetap hangat, hingga Presiden Abdurrahman Wahid menutupnya 1999. Sebagai gantinya Gus Dur membentuk lembaga non-kementerian: Badan Informasi dan Komunikasi Nasional (BIKN).
Tidak selang lama, tahun 2001 pemerintah mengubah BIKN menjadi Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi. Baru tahun 2005 dari hasil merger Lembaga Informasi Nasional (LIN) dengan Dirjen Pos dan Telekomunikasi, terbentuk Departemen Komunikasi dan Informatika.
Empat tahun kemudian, nama "Departemen" diubah menjadi Kementerian Komunikasi dan Informatika seperti yang kita kenal hari ini.
Sisipan Pesan Moral
Kementerian Komunikasi kemudian melanjutkan metode penyampaian informasi melalui sisipan pesan dalam pementasan pertunjukan rakyat.
"Salah satu tugas kami adalah diseminasi atau penyebaran informasi program pemerintah. Baik pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten ke banyak media. Salah satu yang kami garap, melalui media tradisional seperti ini," kata Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Magelang, Budi Daryanto saat menggelar Gebyar Metra Budaya di Brengkel, Salaman, Sabtu (1/11).
Pertunjukan rakyat menjadi salah satu media penyampaian informasi dari pemerintah. Sehingga masyarakat di samping menyaksikan pertunjukan, juga mendapat edukasi untuk mendukung program pemerintah.
"Saya kira media masyarakat itu malah masuk dengan cara seperti ini. Dengan menyaksikan pergelaran, di tengahnya diselipi pesan-pesan dari pemerintah. Saya kira ini juga bisa masuk langsung ke masyarakat," ujarnya.
Komunikasi Media Tradisional
Sejak 2012 Dinas Komunikasi dan Informatika dan para seniman membentuk Forum Komunikasi Media Tradisional (FK Metra) Kabupaten Magelang.
Forum Komunikasi Tradisional adalah organisasi mitra Dinas Komunikasi dan Informatika di berbagai daerah. Organisasi ini membantu menyebarluaskan informasi dari pemerintah kepada masyarakat melalui media tradisional seperti pertunjukan rakyat.
"Tupoksi penyampaian informasi sebagian masuk Dinas Kominfo. Tahun 2012 kebetulan saya ikut membidani terbentuknya Forum Komunikasi Media Tradisional di Kabupaten Magelang," kata Ketua FK Metra Magelang, Donny Mahendra Eggers.
Dimulai 2019, FK Metra Magelang rutin menggelar festival tahunan pertunjukan rakyat. Kegiatan sempat terhenti saat pandemi Covid.
"Tahun ini yang keempat. Kami pilih nama Gebyar Metra Budaya. Kami menilai cara ini efektif menyampaikan informasi ke masyarakat," ujar Donny Mahendra.
Celah Media Sosial
Donny menilai melalui pementasan seni masyarakat lebih mudah menerima informasi.
"Melalui seni dan budaya masyarakat sebetulnya lebih mudah menerima informasi. Pertunjukan kesenian di samping jadi tontonan, juga bisa jadi tuntunan," lanjutnya.
Di era digital, cara menyebarkan informasi melalui pertunjukan rakyat menjadi unik. Metode ini terbukti tidak hanya menarik perhatian orang-orang tua tapi juga remaja dan anak-anak.
"Mungkin media sosial dan internet sasarannya anak muda dan sebagainya. Ini sasarannya juga untuk orang yang tidak memegang HP. Tidak mengenal internet. Orang sepuh kan juga perlu distribusi media," imbuh Donny Mahendra.
Sebanyak 10 sanggar kesenian tradisional dari sejumlah kecamatan di Magelang ikut tampil pada Gebyar Metra Budaya 4 di Dusun Brengkel 1, Desa Salaman, Kecamatan Salaman.
Parade sekaligus lomba kesenian tradisional yang dikemas dalam Gaboet Fest 2025 rencananya digelar 2 hari. Total ada 20 pertunjukan tari dan sandiwara rakyat memeriahkan acara ini.
Jembatan Humor
Salah satunya, Sanggar Maheswara dari Desa Pogalan, Kecamatan Pakis. Penampilan mereka di atas panggung, mengingatkan kita pada ludruk atau Srimulat.
Komedi slapstik yang mengandalkan humor gestur, mimik wajah, dan gerakan tubuh yang lucu. Meski orang menilai komedi jenis ini sudah kelewat zaman, penampilannya tetap berhasil meledakkan tawa-setidaknya senyuman.
"Sanggar kami itu anggotanya anak-anak yang masih aktif sekolah. Kami punya wadah untuk melestarikan budaya, khususnya tradisi yang ada di Kabupaten Magelang," kata Edi Suyatno, pemimpin Sanggar Maheswara.
Di sela banyolan-banyolan, para pemain menyisipkan informasi visi Bupati dan Wakil Bupati Magelang 2025-2030: Magelang Aman, Nyaman, Religius, Unggul, dan Sejahtera atau Anyar Gress.
Sisipan informasi itu halus tersampaikan lewat adegan yang menggelitik.
"Jadi program Bupati Magelang bisa tepat sasaran. Kita edukasi masyarakat. Salah satunya pengobatan gratis," ujar Edy.
Edy yang sehari-hari menjadi guru sekolah dasar di Desa Pogalan, nampak lihai membungkus pesan dalam seni peran jenaka.
"Kami kemas jadi pementasan tari dan drama," pungkasnya.
Tidak salah jika dewan juri memilih Sanggar Maheswara sebagai penampil terbaik. Diikuti Sanggar Gaboet Wasesa dan Mawar Rinonce yang masing-masing menempati posisi 2 dan 3.
Jika ada hitungan skala ngakak, Sanggar Maheswara mungkin belum setara Kartolo cs. Tapi mereka berhasil membuat orang pulang menonton pertunjukan dengan hati yang lebih ringan.
Dari atas panggung sederhana itu, bisa dibilang mereka selesai menuntaskan misinya.
0 Komentar