Di balik keberhasilan Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, menjaga kesiapsiagaan terhadap ancaman erupsi Gunung Merapi, ada sosok yang tak pernah lelah menjalin kerja sama lintas desa dengan semangat tulus: Eko Kalisno, Sekretaris Desa Sumber. Melalui konsep "Sister Village" atau dalam bahasa lokal dikenal dengan "Paseduluran Desa" (Paseso) atau, ia menjadi salah satu penggerak utama yang memastikan hubungan antar desa penyangga bencana tetap hidup, bukan sekadar hanya program seremonial.
Dari kekacauan pengungsian ke lahirnya desa bersaudara
Eko membuka kisahnya dengan mengingat kembali masa kelam erupsi Gunung Merapi tahun 2010. Desa Sumber saat itu berada dalam situasi kacau. Warga panik dan menyelamatkan diri tanpa koordinasi.
"Tahun 2010 itu pengungsian semrawut sekali. Karena radius bahaya diperluas, masyarakat mengungsi sendiri-sendiri. Ada yang ke Lapangan Tembak, Salaman, Borobudur, sampai Jogja. Waktu itu sekitar 3.900 jiwa tersebar di 27 titik pengungsian tanpa koordinasi," kenangnya.
Situasi tersebut menjadi catatan penting bagi banyak pihak. Dari pengalaman pahit itulah kemudian muncul gagasan untuk membangun sistem mitigasi yang lebih terencana. Pada 2014, Pemerintah Kabupaten Magelang melalui BPBD mulai memfasilitasi program Paseso (Desa Bersaudara), sebuah model kolaborasi antar desa rawan dan desa aman sebagai strategi penguatan kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas.
"Awalnya kami dijajaki untuk menentukan desa mana yang cocok menjadi saudara. Waktu itu kami dari Desa Sumber memilih Desa Pucungrejo dan Sedayu. Tapi kemudian hanya Pucungrejo yang lanjut. Sedayu tidak cocok dengan MoU yang disepakati," jelas Eko.
Namun, nasib mempertemukan Desa Sumber dengan Desa Ngawen.
"Setelah Sedayu tidak lanjut, justru Desa Ngawen yang melamar kami," ucapnya sembari tertawa.
"Akhirnya kami susun MoU dengan Desa Ngawen, dan alhamdulillah sampai sekarang hubungan kami tetap terjalin baik," lanjutnya.
Dari kebencanaan ke kolaborasi budaya
Hubungan Desa Sumber dengan dua desa saudaranya, Pucungrejo dan Ngawen, tidak berhenti pada urusan kebencanaan semata. Mereka memperluas kerja sama ke bidang seni, budaya, pemerintahan, hingga ekonomi.
"Dengan Desa Ngawen, kami sering kerja bareng di bidang seni dan budaya. (Desa) Sumber punya banyak sanggar dan tradisi, sementara (Desa) Ngawen punya situs Cagar Budaya Candi Ngawen. Kami sering diundang tampil di Festival Bule Mandala di sana," tutur Eko.
Ia menambahkan, pernah pula warga Desa Sumber melatih masyarakat Desa Ngawen dalam bidang kesenian, yang kemudian ditampilkan pada festival tersebut. Kolaborasi semacam ini mempererat hubungan antarwarga sekaligus memperkuat nilai-nilai lokal.
Sementara dengan Desa Pucungrejo, bentuk kerja sama lebih banyak di bidang pemerintahan dan inovasi.
"Kami dan Pucungrejo sama-sama mendapat program Smart Village dari Kementerian Desa. Jadi banyak inovasi dan pertukaran ide yang kita lakukan bareng, terutama soal tata kelola pemerintahan dan digitalisasi layanan publik," ujarnya.
Membangun desa inklusif dan tanggap disabilitas
Salah satu tonggak penting dalam kerja sama antar ketiga desa ini adalah Program Pionnir (Partner of Inclusion), sebuah program yang menempatkan kelompok disabilitas sebagai bagian dari sistem penanggulangan bencana.
"Lewat program itu kami belajar bagaimana teman-teman disabilitas bisa berdaya dan tidak bergantung pada relawan. Mereka dilibatkan sejak pendataan, pelatihan, sampai pembangunan infrastruktur yang aksesibel," terang Eko.
Desa Sumber, Ngawen, dan Pucungrejo menjadi contoh penerapan inklusivitas dalam mitigasi bencana. Mereka membangun toilet dan fasilitas publik yang ramah disabilitas, bahkan menggelar sosialisasi kebencanaan melalui kesenian tradisional ketoprak.
"Yang tampil itu teman-teman disabilitas sendiri. Mereka main ketoprak sambil menyampaikan pesan kebencanaan. Jadi nilai edukasinya dapat, pelibatan sosialnya juga terasa," ujarnya bangga.
Filosofi "Kenal Pisan, Seduluran Selawase"
Saat ditanya apa yang membuat Paseso di Desa Sumber berbeda dari desa lain, Eko menjawab dengan tegas: hubungan emosional yang kuat.
"Prinsip kami itu, 'Kenal pisan, seduluran selawase'. Jadi tidak hanya mengandalkan program dari BPBD. Kami tetap menjalin hubungan meski program kabupaten sudah selesai," ungkapnya.
Ia menuturkan, seringkali hubungan antar desa berhenti setelah kegiatan fasilitasi berakhir. Tapi bagi Desa Sumber, silaturahmi dan kerja sama tetap dilanjutkan secara mandiri.
"Kami sering saling kunjung, anjangsana, dan terus berkoordinasi. Karena kami percaya, silaturahmi itu membuka pintu rezeki. Kalau di level pribadi membawa berkah untuk keluarga, di level desa membawa manfaat untuk masyarakat," ucapnya.
Dampak nyata: desa lebih siap dan lebih dikenal
Menurut Eko, manfaat terbesar dari program Paseso bukan hanya kesiapsiagaan terhadap bencana, tapi juga meningkatnya kepercayaan dan citra positif Desa Sumber di mata masyarakat luas.
"Kami jadi lebih siap menghadapi ancaman. Kalau ada kabar Merapi aktif, mitra kami dari Jakarta atau Bogor sudah tidak khawatir. Karena kami bisa jelaskan: sistem evakuasi jelas, rencana kontinjensi ada, dan desa kami aman," paparnya.
Paseso juga membuka peluang ekonomi baru melalui pengembangan wisata edukasi mitigasi bencana di Desa Sumber.
"Banyak siswa dari Jakarta, Bogor, Depok datang ke sini untuk belajar mitigasi lewat program live-in. Mereka merasa nyaman karena tahu sistem kami siap. Jadi, Paseso bukan cuma soal bencana, tapi juga soal kepercayaan," tambahnya.
Harapan: Paseso tak sekadar program, tapi gerakan
Eko berharap agar program Paseso tidak hanya berhenti di level kegiatan, melainkan terus dikembangkan menjadi gerakan lintas wilayah yang berkelanjutan.
"Harapannya, pemerintah kabupaten terus mendorong desa-desa bersaudara agar tetap aktif, tidak hanya menunggu surat dari BPBD. Karena manfaatnya besar sekali," katanya dengan nada serius.
Penutup
Program Sister Village (Paseso) mulai dirintis di Kabupaten Magelang pasca-erupsi Gunung Merapi tahun 2010. Tujuannya adalah memperkuat koordinasi antara desa di kawasan rawan bencana dengan desa penyangga yang lebih aman. Model ini mengandalkan prinsip gotong royong, saling bantu, dan kesiapsiagaan komunitas.
Desa Sumber termasuk pelopor program ini bersama Desa Pucungrejo dan Desa Ngawen. Ketiganya kini menjadi contoh kolaborasi yang berhasil memperluas dampak Paseso tidak hanya di bidang kebencanaan, tapi juga sosial budaya, pemerintahan, dan ekonomi lokal.
Kini, 15 tahun setelah erupsi Merapi 2010, Desa Sumber telah bertransformasi menjadi desa tangguh bencana dengan wajah humanis. Di balik setiap kegiatan, terselip filosofi sederhana namun kuat dari Eko Kalisno: "Kenal pisan, seduluran selawase". Filosofi yang membuktikan bahwa solidaritas, bukan hanya sistem, adalah fondasi sejati dari ketangguhan sebuah desa.
0 Komentar