BERITAMAGELANG.ID - Di tengah mahalnya biaya bahan bakar dan terbatasnya sistem irigasi, warga Desa Bondowoso, Mertoyudan memiliki cara sederhana untuk memastikan lahan pertanian dan kolam ikan mereka tetap dialiri air sepanjang tahun.
Sumbernya adalah 'jinontro', teknologi kincir air tradisional yang diwariskan turun-temurun dan masih berfungsi hingga kini. Bahkan, cara kerjanya cukup ekonomis dan praktis. Tanpa listrik, tanpa solar, dan beroperasi 24 jam tanpa henti.
Kepala Desa Bondowoso, Muh Thoifur menuturkan, desanya memiliki sumber mata air Gending, yang kualitasnya sangat baik dan debitnya stabil bahkan saat musim kemarau. Namun letak sungai yang berada di bawah lahan pertanian menjadi persoalan utama.
"Kalau pakai sistem irigasi biasa tidak bisa, dan kalau pakai diesel biayanya mahal," ujar Thoifur di kantornya, Rabu (29/10).
Dari situ, warga memanfaatkan teknologi jinontro atau semacam kincir air bambu yang sudah dikenal sejak puluhan tahun silam. Orang-orang terdahulu memanfaatkan bahan seperti bambu untuk menciptakan kincir air dan bisa mengangkat air dari sungai ke lahan yang lebih tinggi.
Menurut Thoifur, sistem kerja kincir itu sederhana. Kincir diletakkan di aliran sungai, sedikit di bawah permukaan air. Saat berputar karena arus, kincir akan menampung air di bilah-bilah bambu, lalu mengalirkannya ke wadah penampungan di sisi atas.
Dari situ, air dialirkan ke sawah atau kolam ikan melalui pipa dan saluran kecil.
"Efektif sekali, tanpa biaya dan bisa jalan 24 jam," katanya.
Dia mencatat, ada lebih dari tiga unit kincir air yang masih aktif digunakan oleh petani dan pembudidaya ikan. Bagi Thoifur, inovasi sederhana ini adalah bukti bahwa kearifan lokal memiliki nilai praktis dan ekologis tinggi.
"Kalau sektor seperti ini diperhatikan dan dikembangkan, hasilnya bisa besar. Lahan pertanian kita luas, dan kalau dikelola serius, bisa menyerap tenaga kerja banyak," paparnya.
Salah satu warga yang masih merawat teknologi ini adalah Nur Kholis (50), warga Dusun Gedongan Kulon. Ia mewarisi kincir air dari keluarganya, yang sudah menggunakannya sejak masa kakeknya.
"Dulu kincir ini sudah ada. Saya hanya meneruskan. Mbah saya yang pertama kali buat, kami tinggal diberi ilmunya," kata Kholis.
Kincir miliknya terbentang sekitar tujuh meter menyeberangi sungai, terbuat hampir seluruhnya dari bambu petung. Rangka bambu itu menjadi poros utama yang memutar bilah-bilah air.
"Bambu dipilih karena ringan tapi kuat. Kalau sungainya meluap, kincir tidak mudah rusak. Bentangan lebar juga membantu agar sampah yang terbawa banjir tidak menumpuk di tengah," jelasnya.
Perawatannya pun nyaris tanpa biaya. Ketika kincir airnya berhenti atau tidak berfungsi karena tumpukan sampah, dia hanya perlu membersihkannya. Bahkan, ketika rusak atau sudah lapuk, dia akan memperbaikinya sendiri.
Kincir air ini, katanya, bisa bertahan hingga satu setengah tahun sebelum diganti baru, tergantung kondisi sungai. "Kalau tidak kena banjir, bisa sampai 18 bulan. Tapi kalau banjir besar, ya rusak," ucapnya.
Kini, Kholis memiliki tiga kincir air aktif yang digunakan untuk mengairi delapan kolam ikan miliknya dan keluarganya. Jenis ikan yang dipelihara antara lain bawal, nila, dan lele.
Meski bermanfaat besar, keberadaan kincir air kini menghadapi tantangan baru. Menurut Kholis, kondisi sungai Gending tidak sebersih dulu. Pendangkalan terjadi karena penumpukan sampah rumah tangga, mulai dari plastik hingga limbah rumah tangga.
"Dulu airnya jernih, tidak ada pendangkalan. Sekarang banyak sampah, dari celana sampai bantal ada di sungai," keluhnya.
Kendati demikian, warga tetap berupaya menjaga keberlangsungan teknologi ini. Mereka menyesuaikan posisi dan ukuran kincir agar tetap bisa berputar meski debit air menurun.
"Kalau musim kemarau, saya tambahkan sayap supaya airnya lebih banyak tertampung dan kincir bisa mutar lagi," kata Kholis.
0 Komentar